Minggu, 02 November 2014

Dilarang Tertawa

Sadar tidak sadar, suka tidak suka, kita harus mengakui bahwa kita adalah warga negara Indonesia. Di negara demokrasi ini semua orang bebas berasumsi, bebas mengkritisi, dan bebas melakukan apa saja sejauh hal tersebut tidak melanggar hak orang lain maupun aturan hukum negara.
Jika anda menjustifikasi saya dengan sudut pandang anda sendiri lalu membenarkan hal tersebut dengan sepihak, maka saya pun dapat melakukan hal  serupa. Misalnya menganggap orang disekitar saya atau mungkin termasuk anda telah menghina atau melecehkan saya hanya “karena tertawa” saat saya mengemukakan pendapat dimuka umum.
Saat saya melihat orang lain menyanggah, mengejek bahkan menghina saya saat saya mengemukakan pendapat, saya rasa itu adalah hal yang lumrah dalam proses belajar. Terlebih di negara demokrasi ini.
Masalah tersinggung, sakit hati dan kesal adalah manusiawi. Begitu juga dengan tertawa saat melihat atau mendengar hal yang dianggap lucu, karena tertawa adalah respon reflek dari emosi jiwa. Saya menyadari bahwa seharusnya saya cukup berhati-hati  dalam berbicara, bertindak maupun menilai orang lain dengan sudut pandang saya sendiri. Karena apa yang menurut saya biasa-biasa saja atau bahkan “menggelikan”  bisa saja dinilai berlebihan karena egosentrisme ataupun kebodohan “si penilai”.
Di negara demokrasi  memang dapat menimbulkan kebodohan publik (menurut Plato). Karena hanya dengan “tertawa lirih saja” bisa dimaknai berjuta makna.
Saya bisa saja membalikkan anggapan anda mengenai tindakan saya yang menurut anda salah. Namun sayangnya saya cukup sadar  bahwa saya hidup di negara demokrasi.