Sadar tidak sadar, suka tidak suka, kita
harus mengakui bahwa kita adalah warga negara Indonesia. Di negara demokrasi
ini semua orang bebas berasumsi, bebas mengkritisi, dan bebas melakukan apa
saja sejauh hal tersebut tidak melanggar hak orang lain maupun aturan hukum negara.
Jika anda menjustifikasi saya dengan
sudut pandang anda sendiri lalu membenarkan hal tersebut dengan sepihak, maka
saya pun dapat melakukan hal serupa.
Misalnya menganggap orang disekitar saya atau mungkin termasuk anda telah
menghina atau melecehkan saya hanya
“karena tertawa” saat saya mengemukakan pendapat dimuka umum.
Saat saya melihat orang lain menyanggah,
mengejek bahkan menghina saya saat saya mengemukakan pendapat, saya rasa itu
adalah hal yang lumrah dalam proses belajar. Terlebih di negara demokrasi ini.
Masalah tersinggung, sakit hati dan
kesal adalah manusiawi. Begitu juga dengan tertawa saat melihat atau mendengar
hal yang dianggap lucu, karena tertawa adalah respon reflek dari emosi jiwa. Saya
menyadari bahwa seharusnya saya cukup berhati-hati dalam berbicara, bertindak maupun menilai
orang lain dengan sudut pandang saya sendiri. Karena apa yang menurut saya
biasa-biasa saja atau bahkan “menggelikan” bisa saja dinilai berlebihan karena
egosentrisme ataupun kebodohan “si
penilai”.
Di negara demokrasi memang dapat menimbulkan kebodohan publik (menurut
Plato). Karena hanya dengan “tertawa lirih saja” bisa dimaknai
berjuta makna.
Saya bisa saja membalikkan anggapan anda
mengenai tindakan saya yang menurut anda salah. Namun sayangnya saya cukup
sadar bahwa saya hidup di negara
demokrasi.