Masalah kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) selalu mendapat
sorotan tajam dari berbagai kalangan di negeri ini. Hal tersebut terbukti
dengan maraknya aksi penolakan kenaikan harga BBM bersubsidi yang terjadi
hampir diseluruh negeri. Namun di sela-sela kesibukan para kelompok penekan,
kelompok kepentingan dan lainnya menolak kenaikan harga BBM bersubsidi, ada
segelintir pertanyaan yang mungkin tak pernah terfikirkan oleh para aktifis,
pemerintahan dan wakil rakyat yakni asumsi rakyat mengenai makna kenaikan BBM
bersubsidi itu sendiri. Jangankan
mencoba mengerti, untuk mengartikan kata subsidi saja belum tentu rakyat
Indonesia tahu. Terlebih bagi kalangan masyarakat dengan tingkat pendidikan
rendah yang acap kali bingung, hingga akhirnya acuh dan pasrah menyikapi hal
kenaikan harga BBM bersubsidi yang menurut mereka hanyalah permainan politik
pemerintah belaka.
Memang benar bila negara-negara penghasil minyak bumi seperti Saudi
Arabia, Irak, Iran, Kuwait, beberapa negara di Timur tengah lain Venezuella dan
lainnya mensubsidi BBM kepada rakyatnya. Tindakan ini tentu saja menjadi suatu
kewajaran, mengingat negara-negara tersebut mempunyai kekayaan minyak bumi yang
melimpah, bahkan setiap produksinya mampu menyisakan minyak yang kemudian di
ekspor ke negara lain. Negara-negara pengekspor minyak dunia tersebut secara
resmi mempunyai lembaga yang menjembatani aktifitas ekspor mereka yakni OPEC (Organization
of the Petroleum Exporting Countries) atau Organisasi Negara-negara Pengekspor
Minyak Bumi. OPEC didirikan pada 14 September 1960 di Bagdad, Irak. Saat itu
anggotanya hanya lima negara. Sejak tahun 1965 markasnya bertempat di Wina,
Austria.
Indonesia sendiri pernah menjadi satu-satunya perwakilan negara
Asia dalam OPEC pada periode Desember 1962 sampai Mei 2008 yang kemudian
berbalik menjadi negara pengimpor minyak dengan keterdesakan cadangan minyak
Indonesia yang hanya tersisa sekira 3,6 miliar barel, dan produksi minyak hanya
830-840 barel per hari. Ini membuat Indonesia harus mengimpor BBM untuk
memenuhi kebutuhan BBM 1,4 juta bph.
Pertanyaan yang kemudian muncul dari fakta keterbalikan yang miris mengenai
ketersediaan BBM adalah mengenai kebijakan yang ditempuh pemerintah untuk
mengekspor minyak. Mengapa pemerintah dengan beraninya membuat kebijakan untuk
mengekspor minyak keluar negeri tanpa memperhatikan populasi masyarakat serta
ketersediaan stock minyak bumi? Jika pemerintah berdalih bahwa produksi minyak
kala itu telah mencukupi kebutuhan minyak dalam negeri dan tersisa untuk di
ekspor, lalu mengapa pemerintah tidak terfikirkan untuk berhemat?, dengan
memproduksi minyak sesuai kebutuhan rakyat adalah tindakan yang bijak karena
mampu menghemat konsumsi di atas batas stock minyak bumi yang ada.
Sekarang disaat persediaan minyak bumi menipis, barulah
pemerintahan gencar menyuarakan kenaikan BBM dari massa ke massa dengan dalih
menyelamatkan APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) yang sudah membengkak
karena banyaknya penyalah gunaan subsidi yang tidak tepat sasaran seperti
halnya BBM bersubsidi yang justru banyak dinikmati oleh para kalangan yang
mampu. Lalu dimana peran serta
pemerintah dalam pertanggungjawabannya mengawasi ketersampaian subsidi agar
tepat sasaran?. Bagaimana dengan kendaraan para PNS, maupun kendaraan berplat
merah lainnya yang selalu merampas hak rakyat dengan membeli BBM bersubsidi
yang juga berdampak pada pembengkakan APBN?.
Jika pembengkakan APBN akibat penyalahgunaan subsidi selalu menjadi
alasan yang di gadang-gadangkan pemerintah untuk menaikan harga BBM, kenapa
pemerintah seolah tidak pernah memikirkan untuk mencegah, meminimalisir bahkan
menghentikan masalah penyalahgunaan subsidi dan justru sibuk dengan alasan
pembengkakan APBN? Lalu bagaimana dengan pajak yang dibayarkan oleh rakyat dalam
fungsinya menyuplai APBN yang justru dikorupsi?.
Setiap kebijakan yang dibuat dalam pemerintahan suatu negara memang
tak pernah lepas dari pro dan kontra, hal tersebut di dasari dengan adanya
kepentingan-kepentingan dari berbagai pihak seperti partai yang ingin
menggalang suara mapun unsur pencitraan lainnya. Sekalipun mungkin masih ada
keinginan atau tujuan murni dari suatu sikap yang pro / kontra tersebut namun
hendaknya setiap kebijakan yang akan dikeluarkan senantiasa di titikberatkan
kepada kepentingan rakyat dengan melihat faktor sejarah, prediksi massa depan,
kesiapan pemerintah dan aparatur negara serta moment yang tepat agar tidak
tersisipi oleh kepentingan-kepentingan tertentu yang seolah pro rakyat namun
sebenarnya hanyalah sebagai ajang unjuk gigi untuk kepentingan golongannya
sendiri.
Jika sekiranya memang mendesak, maka sosialisasi yang dilakukan
pemerintah melalui berbagai media mengenai kenaikan harga BBM bersubsidi
seyogyanya dijabarkan secara gamblang dan mendasar, agar dapat memberi
pengertian selengkap-lengkapnya serta mampu menjangkau masyarakat dengan
pedidikan yang terbatas agar tidak salah tafsir maupun sebagai pendidikan
politik untuk menghindari mobilisasi dari pihak-pihak tertentu serta memegang
teguh esensi dari kebijakan itu sendiri yakni untuk menyelamatkan APBN dengan
penuh tanggung jawab. Mengingat kenaikan harga BBM yang di jadwalkan akan
terealisasi pada tahun 2013 ini berdekatan dengan hadirnya bulan Ramadhan (yang
biasanya dibarengi dengan kenaikan harga sembako) dan Pemilihan Umum (PEMILU) 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar