KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa memberikan
rahmat dan karuniaNya kepada kita semua. Berkat kemurahan ilmu dan kesehatan
yang telah diberikanNya, maka makalah ini dapat terselesaikan dengan tepat
waktu dan sesuai yang diharapkan.
Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman mengenai politik lokal di
Indonesia, yang kami pelajari dalam tugas yang diberikan oleh dosen matakuliah
Pemerintahan dan Politik Lokal di Indonesia kami yaitu Dr. Indiana Ngenget M.si.
Dalam makalah ini penulis mencoba mengambil tema sesuai dengan yang di tentukan
oleh dosen dengan menitikberatkan kepada hal yang sedang marak diperbincangkan
banyak kalangan yaitu mengenai masalah pecah kongsi di pemerintahan tingkat
provinsi, kabupaten dan kota yang kemudian kami beri judul “Reposisi Peran Gubernur (dalam undang -
undang otonomi daerah)”.
Dalam penyusunan makalah ini penulis
menemui banyak ilmu pengetahuan baru yang terdapat dari proses meramu kajian
makalah dari berbagai sumber dan tokoh politik. Hal ini tentunya menjadi suatu pelajaran
berharga yang patut kami apresiasikan dalam bentuk ucapan terimakasih kepada
dosen mata kuliah kami Dr. Indiana Ngenget M.si yang telah memberikan tugas
pembuatan makalah ini, sehingga mampu memicu kami untuk menggali potensi diri
serta mendapatkan pengetahuan-pengetahuan yang baru dan tentunya sangat
bermanfaat untuk kami kedepannya.
Penulis menyadari bahwa berbicara mengenai politik lokal / otonomi daerah
diperlukan sebuah landasan teori yang kuat agar tidak salah kaprah dalam
penafsiran dan mengkritisinya. Untuk itu penulis memakai beberapa teori / pemikiran
dari beberapa tokoh politik yang ahli di bidangnya, yang salah satunya adalah Prof.,
Dr., Djohermansyah Djohan, MA.
Meskipun demikian penulis tidak memungkiri atas besarnya
kemungkinan akan kesalahan yang terdapat di makalah ini, untuk itu kritik dan
saran akan sangat kami hargai untuk dapat membangun perbaikan akan makalah kami
kedepannya.
Jakarta, 24 Mei 2013
M.
Tabah Didy Kurniady
DAFTAR ISI
Kata pengantar.........................................................................................................i
Daftar
isi.................................................................................................................ii
BAB (Pendahuluan)
Latar belakang, Rumusan masalah,
Landasan teori................................................iii
...
BAB II (Pembahasan)
Contoh kasus, Analis kasus.....................................................................................1
Sejarah UU yang
berkaitan dengan Otonomi Daerah............................................2-4
Upaya yang di
tempuh pemerintah pusat dan masalah yang belum
terselesaikan..5-8
BAB III (Penutup)
Kesimpulan dan
saran.............................................................................................9
Daftar Pustaka..................................................................................................................10
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Sudah menjadi rahasia umum jika para bupati dan wali kota hasil
pemilihan kepala daerah acap kali mangkir dari undangan rapat- rapat koordinasi
pembangunan yang diselenggarakan gubernur. Apalagi jika sang gubernur berasal
dari partai politik yang berbeda dengan bupati atau wali kota.[1]
Sebagian kepala daerah bahkan hanya mengirim pejabat setingkat sekretaris
daerah atau sekretaris kota untuk mewakilinya. Realitas ini jelas merisaukan
karena gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah, selain posisi sebagai
kepala daerah otonom di tingkat provinsi. Namun, yang menarik, ketika agenda
rapat terkait pembagian dana alokasi umum, para bupati dan wali kota
berbondong-bondong hadir sendiri. Tampaknya para kepala daerah tersebut mau
dikoordinasikan jika terkait dengan uang.
Hal ini menjadi menarik ketika undang – undang mengenai otonomi
daerah dari mulai tahun 1945 yang masih dasar dalam mengatur masalah otonomi
daerah, kemudian di amandemen kembali pada tahun-tahun berikutnya hingga undang
– undang otonomi daerah tahun 2004 di buat, implementasinya justru terkesan
wacana saja karena banyak mendapat kendala, khususnya dari para pelaksananya. Karena
itu, muncul pemikiran di kalangan pemerintah untuk memperkuat peran gubernur
dan juga usulan yang datang dari berbagai lembaga pemerintahan lainnya, khususnya
Kementerian Dalam Negeri yang mengusulkan untuk mengubah sistem pemilihan
langsung gubernur menjadi tak langsung, entah melalui Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah ataupun ditunjuk langsung oleh Presiden agar tak dipandang sebelah oleh
para bupati/walikota serta mampu menekan angka pemborosan anggaran dalam pemilu
langsung. [2]
B.
Identifikasi masalah
Dari latar belakang di atas, terdapat gambaran bahwa terdapat
disharmonisasi antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten / kota dalam
menjalankan fungsinya. Lalu apa sajakah penyebab dari disharmonisasi tersebut
dan bagaimana peranan pemerintah pusat dalam menyikapinya?
C.
Landasan teori
Dalam makalah ini, penulis mengambil teori dari berbagai pemikiran
para tokoh politik melalui buku maupun pandangan mereka mengenai impementasi UU
Otonomi daerah yang di dalamnya mencakup peran Gubernur, Pemerintah Pusat &
Bupati, diantaranya adalah pemikiran dari Syamsuddin Haris,Djohermansyah
Djohan,Gamawan Fauzi, dan Lili Romli.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Contoh kasus
Contoh kasus yang bisa diambil dari fakta mengenai adanya disharmonisasi
antara pemerintah provinsi (gubernur) dan pemerintah kabupaten (bupati) adalah kasus yang akhir – akhir ini marak terjadi
di berbagai daerah di indonesia seperti yang salah satunya saya kutip dari www.cybersulutnews.com yakni ungkapkan Asisten 1
Sekretaris Daerah (Sekda) provinsi Sulut, MM Onibala ketika membuka Rapat
Koordinasi penyelenggaraan pemerintahan umum, yang digelar Biro Pemerintahan
dan Humas. Beliau memaparkan bahwa Pemerintah daerah terutama kabupaten/kota sering
salah kaprah dalam implementasi otonomi daerah. Dimana, peran gubernur sebagai
wakil pemerintah pusat di daerah banyak diabaikan. Banyak dijumpai
Bupati/Walikota yang mengabaikan peran gubernur termasuk fungsi pemerintah
provinsi. Anehnya disaat mendapat masalah, pemerintah kabupaten/kota sering
melempar penyelesaiannya ke Pemprov Sulut. Ia mencontohkan, penyelesaian
masalah tapal batas antara kabupaten Boltim-Mitra dan batas antara Kota Bitung
dan Kabupaten Minut. menurutnyanya bila pemkab/pemkot cerdas, masalah ini bisa
diselesaikan secara baik-baik antara pemerintah kabupaten/kota dan bukan justru
dilempar ke provinsi. Imbasnya pemerintah provinsi yang dijadikan kambing hitam
atas berlarutnya penyelesaian masalah tapal batas. [1]
B. Hasil analisa kasus
Masalah diatas hanyalah satu diantara sekian
banyak masalah yang menghambat implementasi undang-undang otonomi daerah yang
terjadi di indonesia. Hal tersebut terjadi karena kesalahan penafsiran oleh
para bupati terkait dengan undang-undang otonomi daerah tahun 1999 yang mulai di
terapkan pada tahun 2000.[2]
Dimana dalam undang-undang tersebut tidak tertulis secara gamblang hubungan
hierarkis antara pemerintahan provinsi (gubernur) dengan pemerintahan kabupaten/kota
(bupati/walikota). Sekalipun selanjutnya dibentuk undang-undang otonomi daerah
yang baru yaitu UU no 32 tahun 2004. Namun hadirnya undang-undang tersebut
tidak banyak merubah pemikiran para bupati untuk menghormati dan menuruti
perintah gubernur dalam menjalankan wewenangnya. Karena tak dapat dipungkiri
bahwa dalam undang-undang otonomi daerah no 32 tahun 2004 tidak banyak merubah klasifikasi
peran/fungsi gubernur, ditambah adanya persepsi bahwa para bupati dipilih
berdasarkan selera atau keinginan dari rakyat.
C. Sejarah UU yang berkaitan dengan Otonomi Daerah
Proses mencari format pemerintahan daerah yang
ideal di negara kita telah berlangsung sejak diproklamasikannya kemerdekaan
yang diawali dengan dikeluarkannya UU Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan
Kedudukan Komite Nasional Daerah, dan disusul silih berganti dengan
diterbitkannya beberapa Undang-Undang dan Peraturan lainnya, hingga yang
terakhir UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan
pengganti dari UU Nomor 22 Tahun 1999. Setiap undang-undang Pemerintahan Daerah
yang baru, pada dasarnya merupakan koreksi dan penyempurnaan dari undang-undang
dan peraturan yang lama, yang dianggap tidak sesuai lagi dengan amanah
konstitusi dan perkembangan zaman. Begitu seterusnya, undang-undang
Pemerintahan Daerah baru selalu memuat ketentuan-ketentuan baru guna memenuhi
tuntutan aktual masyarakat lokal sebagai stakeholder dan kehendak pemerintah
pusat sebagai shareholder. Dampaknya, implementasi kebijakan otonomi daerah
kita penuh dengan aneka eksperimen. Akibatnya, tidak terelakkan timbulnya
berbagai kebingungan dan kekacauan dalam penyelenggaraan otonomi daerah kita. [3]
Apabila dilihat segi substansi dan spirit yang
terkandung di dalamnya, kebijakan otonomi daerah merupakan salah satu
instrument yang digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan kualitas pelayanan publik, maupun mengembangkan budaya demokrasi di
tingkat lokal. [4] Hal tersebut didasari
argumentasi bahwa pada saat kesejahteraan masyarakat dan proses kehidupan
demokrasi di tingkat lokal sudah mencapai tahapan yang lebih maju, maka secara
akumulatif diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Namun demikian hingga kini masih terdapat perbedaan persepsi dan
pemahaman terhadap makna yang terkadung dalam desentralisasi, dimana persepsi
tersebut dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan sesaat dari segelintir elit
politik di negeri ini.
Secara empirik, di Indonesia telah terjadi delapan
kali perubahan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelenggaraan
pemerintahan daerah, namun saat ini masih terjadi multi interpretasi baik di
tingkat lokal/daerah maupun di tingkat pusat/antar departemen. Hal tersebut
dapat dilihat melalui berbagai permasalahan yang timbul akibat perbedaan
penafsiran terhadap undang-undang tentang pemerintahan daerah, maupun terbitnya
peraturan perundangan yang bertentangan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah
yang berbasis pada asas desentralisasi dan otonomi yang nyata, luas dan
bertanggungjawab. [5]
Apabila dilihat dari sejarahnya yaitu sesaat
setelah kemerdekaan seperti yang sebelumnya telah dibahas, Pemerintah
menerbitkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 sebagai undang-undang pertama yang
mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah, meskipun secara formal
undang-undang tersebut bukan undang-undang tentang pemerintahan daerah.
Selanjutnya silih berganti terbitlah undang-undang yang mengatur penyelenggaraan
pemerintahan daerah, yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1957 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1959, Undang-undang Nomor 18
Tahun 1965, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999, dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Setiap undang-undang tersebut
mengatur otonomi daerah, namun cenderung berbeda-beda sesuai dengan kondisi
sosial politik yang terjadi pada saat penyusunan undang-undang
tersebut.Perbedaan penafsiran terhadap esensi dari otonomi daerah yang saat ini
terjadi di Indonesia, mengakibatkan negara kita tertinggal jauh dengan
negara-negara lain yang sudah mengaktualisasikan kebijakan desentralisasi dalam
upaya menciptakan tata pemerintahan yang baik (good governance) dan
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik yang bersih serta bebas dari
KKN (clean government). Sehingga sebagai akibatnya implementasi dari perubahan
paradigma otonomi daerah dirasakan masih tersendat-sendat.[6]
Pada Undang-undang No. 22 Tahun 1999 terdapat
klausul yang menyatakan bahwa Provinsi bukan merupakan Pemerintah atasan dari
Daerah Kabupaten/Daerah Kota, dan hubungan antara Provinsi dengan Daerah
Kabupaten/Daerah Kota bukan merupakan hubungan hierarkis. Pemutusan hierarki
antara provinsi dan kabupaten/kota dalam kapasitasnya sebagai daerah otonom
bukan tanpa masalah karena pada implementasinya para bupati/walikota tidak
dapat memisahkan antara fungsi gubernur sebagai kepala daerah otonom dan
sebagai wakil pemerintah pusat.Hal ini mendorong munculnya euphoria pada Daerah
Kabupaten/Daerah Kota terhadap kewenangan yang dimilikinya, sehingga seringkali
mengabaikan dan menafikan eksistensi lembaga Provinsi maupun Gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat di daerah. Kecenderungan semacam ini pada akhirnyanya
akan membawa dampak yang kurang baik dalam proses penyelenggaraan pemerintahan
daerah sebagai subsistem pemerintahan negara. Pemahaman yang salah inilah yang
merupakan sumber kontroversi kedudukan dan kewenangan Gubernur.
Melalui Undang-undang No. 32 Tahun 2004 sebagai
revisi terhadap Undang-undang No. 22 Tahun 1999 telah dilakukan penguatan
terhadap fungsi dan peranan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah.
Namun demikian pada kenyataannya masih terdapat Bupati/Walikota yang menafikan
peran Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Ini adalah Pemahaman yang keliru
terhadap esensi Otonomi Daerah dan kerana adanya keinginan untuk kembali kepada
Undang-undang No. 22 tahun 1999.
Baik sebagai wakil pemerintah pusat maupun sebagai
kepala daerah, gubernur memiliki kewenangan terbatas yang berimplikasi terhadap
kewenangan yang tidak jelas. Dilemanya, sebagian pihak mengkhawatirkan bentuk
negara kesatuan mengarah ke federasi apabila gubernur memiliki kewenangan
sepenuhnya sebagai kepala daerah. Padahal, peran gubernur sangat penting
sebagai unsur perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang
bertanggungjawab kepada presiden dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah
pusat.
Dalam sejarah pemerintahan daerah di Indonesia,
salah satu pengimbang antara sentralisasi pemerintah pusat dan desentralisasi
pemerintah daerah ialah peran ganda gubernur. Sebagai wakil pemerintah pusat,
UU 32/2004 menjabarkan tugas dan wewenang gubernur, yaitu pembinaan dan
pengawasan penyelenggaraan urusan pemerintahan kabupaten/kota, koordinasi
penyelenggaraan urusan pemerintah di provinsi dan kabupaten/kota, serta
koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di
provinsi dan kabupaten/kota.
Gubernur harus menjamin keterlaksanaan visi dan
misi pemerintah pusat, terutama tugas-tugas pemerintahan umum seperti
stabilitas dan integrasi nasional, koordinasi pemerintahan dan pembangunan,
serta pengawasan penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota. Konsekuensinya,
diperlukan pengaturan sistematis yang menggambarkan hubungan berjenjang, baik
pengawasan, pembinaan, maupun koordinasi penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan di kabupaten/kota.
Sedangkan, gubernur sebagai kepala daerah
menyelenggarakan otonomi seluas-luasnya, utamanya urusan lintas kabupaten/kota,
kecuali urusan pemerintahan yang ditentukan undang-undang sebagai urusan
pemerintah pusat. Penguatan peran gubernur sebagai kepala daerah memperkuat
orientasi pengembangan wilayah dan memperkecil dampak kebijakan desentralisasi
terhadap fragmentasi spasial, sosial, dan ekonomi di daerah.
Jika diperjelas dalam UU Pemerintahan Daerah maka
reposisi peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat mengurangi masalah
implementasi UU 22/1999 juncto UU 32/2004 yang gagal mengubah paradigma
bupati/walikota sebagai “penguasa lokal” kabupaten/kota.[7]
Dua UU yang tidak eksplisit menyebut hirarki antara provinsi dan kabupaten/kota
ternyata melemahkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah dalam melakukan
pengawasan, pembinaan, dan koordinasi. Fenomenanya, pemerintah kabupaten/kota
menghubungi pemerintah pusat tanpa sepengetahuan pemerintah provinsi, mereka
bekerjasama dengan pihak luar negeri, bupati/walikota melakukan perjalanan
dinas, dan perencanaan di kabupaten/kota tanpa sepengetahuan pemerintah
provinsi. Ironisnya, ketika pemerintah kabupaten/kota menghadapi persoalan di
daerahnya, seperti bencana, penyakit, kelaparan, pertanahan, perbatasan, hukum,
atau keamanan, bupati/walikota meminta gubernur mengintervensi dan
bertanggungjawab.
D. Upaya yang di tempuh pemerintah pusat dan
masalah yang belum terselesaikan
Karena sering diabaikan oleh para bupati, akhirnya
para gubernur mengusulkan agar gubernur mempunyai kewenangan yang tegas
terhadap bupati/walikota di wilayah provinsinya tanpa mengurangi otonomi kabupaten/kota,
karena penguatan peran gubernur memperpendek rentang kendali dan mengurangi
penyelesaian masalah di tingkat pemerintah pusat. Kiranya, reposisi peran
gubernur dalam UU Pemerintahan Daerah merupakan kebutuhan desentralisasi dalam
hubungan pusat-daerah, tidak hanya menjawab beberapa masalah penyelenggaraan
pemerintahan daerah juga memperbaiki berbagai kelemahan UU 32/2004.
Konsekuensi sistem pemerintahan lokal berkarakter
integrated prefectoral system yang diterapkan di Indonesia adalah hirarki daerah
otonom serta gubernur mempunyai kewenangan untuk mengoordinasi, mengawasi,
menyupervisi, dan memfasilitasi agar daerah mengoptimalkan penyelenggaraan
otonominya. Gubernur juga mempunyai “tutelage power”, yaitu kewenangan
membatalkan kebijakan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Upaya Pemerintahan Pusat untuk mereposisi peran
dan kewenangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat akhirnya terwujud dengan
terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010. Sekalipun dalam
implementasinya masih belum dapat mengubah sepenuhnya pandangan bupati terhadap
gubernur, namun terbitnya peraturan ini tetap menjadi sebuah harapan tersendiri
laksana sebuah hadiah di awal tahun yang diharapkan akan membawa kemajuan dalam
pelaksanaan otonomi daerah yang berbingkai negara kesatuan. Namun demikian,
peraturan ini bukan merupakan akhir dari sebuah penantian, namun justru
merupakan langkah awal dari sebuah perjalanan panjang dalam mewujudkan
penguatan kedudukan dan kewenangan Gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah agar semangat otonomi dan desentralisasi tetap berada dalam koridor
negara kesatuan.
Meski demikian, penguatan kedudukan dan kewenangan
Gubernur harus dilakukan dengan tujuan penguatan lokal, bukan sebaliknya
bertujuan resentralisasi kekuasaan. Karena hakikat otonomi daerah adalah
mendekatkan pelayanan dan pemerintahan kepada masyarakat. Harus dibuka
keseimbangan antara kepentingan yang bersifat nasional serta regional dan
kepentingan yang bersifat lokal. Di sini dianut gabungan antara prinsip
uniformitas dan subsidiaritas, di mana kewenangan pelayanan dan pemerintahan
seharusnya memperhatikan kepentingan nasional dan lokal. Hal tersebut
disebabkan karena kedudukan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat tidak dapat
dipisahkan dari konsepsi dasar pemerintahan sebagai sebuah sistem. Bahkan dalam
negara federal sekalipun, hubungan antar tingkat pemerintahan tidaklah putus.
Provinsi sebagai intermediate goverment merupakan penyambung dan penghubung. [8]
Pada pasal 38 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 32
Tahun 2004 telah diatur kedudukan
Gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah, namun tata cara pelaksanaan tugas
dan wewenang serta kedudukan keuangan
Gubernur diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2010.
Peraturan Pemerintah tersebut diharapkan penguatan terhadap kedudukan dan
kewenangan Gubernur sebagai wakil pemerintah di Provinsi namun dalam
pelaksanaannya belum efektif dilakukan Gubernur khususnya dalam pelaksanaan koordinasi, pembinaan dan
pengawasan. Untuk itu Pemerintah melakukan perubahan terhadap PP Nomor 19 Tahun
2010 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2011 yang antara lain
ditegaskan bahwa pendanaan tugas dan wewenang Gubernur sebagai wakil Pemerintah
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara melalui mekanisme dana
dekonsentrasi yang dituangkan dalam rencana kerja dan anggaran Kementerian
Dalam Negeri.
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2011 juga mengatur
sanksi terhadap Bupati/Walikota yang tidak hadir dalam pelaksanaan rapat-rapat
koordinasi dengan mengusulkan kepada kementerian/lembaga terkait untuk tidak
mengalokasikan dana tugas pembantuan kepada kabupaten/kota yang bersangkutan
pada tahun anggaran berikutnya. Implementasi Peraturan Pemerintah tersebut dalam upaya penguatan tugas dan wewenang
Gubernur sebagai wakil Pemerintah di provinsi, juga tidak efektif karena
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak mengatur penguatan tugas Gubernur
sehingga pemberian sanksi terhadap Bupati/Walikota yang hanya diatur melalui
Peraturan Pemerintah bisa saja tidak diindahkan oleh Bupati/Walikota. Oleh
karena itu dalam upaya penguatan tugas dan wewenang Gubernur harus melalui
undang-undang yakni dengan merubah UU Nomor 32 Tahun 2004.[9]
Selain masalah peran ganda, pecah kongsi, dan
perubahan UU otonomi daerah, Indonesia masih menyimpan satu masalah pelik
lainnya yang juga mempunyai kaitan dengan cara pandang bupati terhadap gubernur
dan juga mengenai sistem pemilihan gubernur yang sedang berlaku. Diskursus
tentang perubahan sistem pemilihan kepala daerah khususnya pemilihan Gubernur
mulai bergulir sejalan dengan banyaknya ketidakpuasan berbagai pihak untuk
tidak lagi menggunakan sistem pemilihan Gubernur secara langsung oleh rakyat
karena dianggap rawan konflik, kecurangan serta membutuhkan anggaran yang besar.
Usulan terhadap perubahan mekanisme pemilihan Gubernur tersebut mencuat ketika
Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri mengusulkan Rancangan Undang-undang
Pemillihan Kepala Daerah (RUU Pilkada). RUU Pilkada yang merupakan bagian dari
revisi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda)
yang di dalamnya mengatur pemilihan gubernur secara langsung. Saat ini, RUU
Pilkada sedang dalam proses pembahasan oleh DPR sebagai bagian dari program
legislasi nasional.
Dalam RUU Pilkada tersebut, Pemerintah mengajukan
usulan perubahan sistem pemilihan Gubernur yaitu merubah sistem pemilihan
Gubernur secara langsung oleh rakyat menjadi sistem pemilihan Gubernur secara
perwakilan oleh DPRD Provinsi. Sementara untuk mekanisme pemilihan bupati/wali
kota tetap secara langsung oleh rakyat. Di samping itu, untuk mekanisme
pemilihan wakil kepala daerah tidak lagi dipilih secara berpasangan dengan
kepala daerah, tetapi wakil kepala daerah diusulkan oleh kepala daerah terpilih
dari pegawai negeri sipil. Hal itu untuk menghindari fenomena “pecah kongsi”
yang mengakibatkan tidak efektifnya penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Beberapa usulan perubahan mendasar lainnya yang tercantum dalam RUU Pilkada
adalah mencegah politik dinasti dan politik transaksi, mendukung netralitas
birokrasi, efisiensi kampanye, pengaturan terhadap calon inkumben, dan penyelesaian
sengketa pilkada.
Namun setelah sekian lama implementasi UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemda mulai dari tahun 2004 hingga sekarang, banyak
masyarakat Indonesia mempertanyakan, apakah mekanisme pemilihan Gubernur secara
langsung oleh rakyat masih sesuai dengan tujuan demokrasi itu sendiri?. Hal
itulah yang menjadi usulan Pemerintah melalui RUU Pilkada untuk mengubah
mekanisme pemilihan Gubernur secara langsung oleh rakyat menjadi pemilihan
Gubernur oleh DPRD. Usulan perubahan pemilihan Gubernur tersebut merupakan
topik yang sangat serius, karena mengingat berpotensi menyurutkan pembangunan
demokrasi di Indonesia yang bermaksud mengurangi peran rakyat dalam menentukan
pemimpinnya di daerah.
Setidaknya terdapat pro dan kontra terkait dengan
usulan pemerintah yang mengusulkan pemilihan Gubernur oleh DPRD. Bagi pihak
yang kontra terhadap usulan pemilihan Gubernur oleh DPRD menyatakan, bahwa
pemilihan Gubernur oleh DPRD adalah merupakan suatu kemunduran yang luar biasa
bagi demokrasi Indonesia. Karena Pemilihan Gubernur oleh DPRD tidak
mencerminkan kedaulatan rakyat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) UUD
1945. Masyarakat luas tidak tahu siapa dan bagaimana visi dan misi para calon
Gubernur mereka, artinya DPRD menjadi sebagai kekuatan dominan yang akan
membajak hak rakyat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Dengan demikian
pemilihan Gubernur Oleh DPRD dapat mengingkari hak konstitusional warga negara
untuk memilih dan dipilih (rights to vote and rights to be candidate),
merupakan hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi
internasional. Maka pembatasan, penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan
hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi warga negara. Berbeda
juga alasan bagi pihak yang pro, setidaknya ada dua alasan khusus untuk yang
setuju dengan pemerintah dalam hal usulan pemilihan gubernur oleh DPRD.
Pertama, yaitu untuk meningkatkan efisiensi anggaran pemilu yang memiliki biaya
yang sangat tinggi untuk prosedur pemilihan Gubernur. I Gusti Putu Artha, mantan
Anggota Komisi Pemilihan Nasional menyebutkan, bahwa anggaran yang dibutuhkan
untuk setiap pemilihan gubernur langsung oleh rakyat adalah sekitar Rp 70
miliar menjadi Rp 90 miliar atau sekitar US $ 7,5 juta menjadi US $ 10 juta. [10]
Bahkan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi juga
menyatakan, bahwa setiap calon yang ingin menjalankan dalam pemilihan gubernur
langsung membutuhkan setidaknya lebih dari Rp 20 miliar atau sekitar US $ 2
juta. Sementara itu, gaji pokok gubernur sebesar Rp 8,7 juta per bulan, kalau
mau menjadi seorang gubernur membutuhkan uang Rp 20 miliar, dengan gaji
gubernur sebesar Rp 8,7 juta per bulan, maka butuh waktu berapa lama untuk
mengembalikan uang Rp 20 miliar itu? (Kompas, 23 Juli 2010). Oleh karena itu,
kita dapat mengasumsikan bahwa calon terpilih memanfaatkan kesempatan apapun
untuk mendapatkan kembali uang mereka yang dikeluarkan selama proses kampanye
mereka. Kedua, bahwa Gubernur hanya memiliki tingkat otoritas yang rendah.
Rendahnya intensitas hubungan antara Gubernur dan masyarakat tidaklah menuntut
akuntabilitas yang tinggi dari Gubernur kepada masyarakat. Oleh karena itu,
Pemerintah mencatat, bahwa proses pemilihan langsung akan terlalu mahal hanya
untuk pemilihan gubernur karena otoritas mereka hanya sebagai wakil pemerintah
pusat di tingkat daerah. [11]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan dan Saran
Melihat peliknya masalah implementasi
undang-undang otonomi daerah di indonesia seolah membuat cerminan betapa lamban
dan tidak teraturnya bentuk kebijakan pemerintah di negeri ini. Banyaknya
masalah yang timbul dari buntut ketidak
sinergisan antar lembaga peerintahan juga menjadi fakta yang nyata karena
adanya miss komunikasi dan tradisi pembuatan undang-undang yang banyak dinilai
masyarakat sebagai langkah yang asal jadi. Sehingga undang-undang yang
dihasilkan hanyalah sebuah produk hukum yang belum teruji dan berkesan
menggunakan masyarakat sebagai bahan eksperimennya.
Dalam hal otonomi daerah pun pemerintah hanya
menitikberatkan hal-hal umum yang seolah hanya sebagai formalitas dari wujud
perhatiannya akan seruan demokrasi oleh rakyat. Hal ini dapat dilihat dari
undang-undang otonomi daerah yang mengatur mengenai wewenang dan fungsi
gubernur, yang tidak jelas menyebutkan hubungan hierarki antara gubernur dan bupati/walikota.
Penataan kedudukan dan wewenang Gubernur di masa
yang akan datang harus didasarkan pada pertimbangan demi tegaknya Indonesia
sebagai Negara Kesatuan, tantangan globalisasi, tuntutan good governance,
masalah koordinasi, pembinaan dan pengawasan, bahkan pemerintah daerah sebagai
instrumen pendidikan politik di tingkat lokal serta peningkatan kesejahteraan
maka pilihan otonomi sebaiknya dititikberatkan pada provinsi, sehingga Gubernur
dapat melaksanakan peran dan kewenangannya baik sebagai kepala daerah maupun
sebagai wakil pemerintah di provinsi.
Peran Pemerintah seharusnya lebih ditekankan pada
aspek kebijakan nasional, Provinsi pada koordinasi penyelenggaraan kebijakan
dan kabupaten/kota sebagai pelaksana kebijakan. Penegasan kedudukan dan
kewenangan Gubernur, maka Pemerintah dengan seluruh aparaturnya lebih berkonsentrasi
dalam menjalankan roda pemerintahan nasional dari pada melayani Bupati/Walikota
yang demikian banyak di seluruh Indonesia di satu sisi dan di sisi lain
Bupati/Walikota lebih berkonsentrasi dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan di
daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/04/06/1/144413/Saldi-Pecah-Kongsi-Kepala-Daerah-Ciptakan-Dualisme-di-Birokrasi (Gamawan
Fauzi)
Http://syamsuddinharis.wordpress.com/2011/01/07/memperkuat-peran-gubernur
(Syamsudin Haris)
Http://www.cybersulutnews.com/index.php?document_srl=20004&mid=sulutnews
Marbun,
B.N. (Otonomi daerah 1945 2010 proses dan realita: perkembangan
Otda, sejak zaman kolonial sampai saat ini, edisi revisi / Jakarta , Pustaka
Sinar Harapan 2010 hal 1-9)
Lili Romli (Potret otonomi daerah dan wakil rakyat di tingkat lokal
, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2007. Hal 1-7)
Http://repository.ipdn.ac.id/96/3/1._BAB_I_Rev_UP.pdf
Hadiwijoyo, Suryo Sakti (GUBERNUR; Kedudukan, Peran dan
Kewenangannya, graha ilmu Surabaya hal 1-8)
Http://otda.kemendagri.go.id/index.php/categoryblog/781-membangun-kapasitas-daerah-dalam-bingkai-otonomi
(Gemawan Fauzi)
Http://politik.kompasiana.com/2011/09/22/reposisi-peran-gubernur-dalam-uu-pemerintahan-daerah-381878.html
Pascasarjanaunsrat.com/.../Kedudukan-Dan-Wewenang-Gubernur
Http://bestariabadi.blogspot.com/2013/05/usulan-perubahan-sistem-pemilihan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar