Selasa, 18 Juni 2013

FAKTA DAN DILEMA DILEMA KENAIKAN HARGA BBM


Masalah kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) selalu mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan di negeri ini. Hal tersebut terbukti dengan maraknya aksi penolakan kenaikan harga BBM bersubsidi yang terjadi hampir diseluruh negeri. Namun di sela-sela kesibukan para kelompok penekan, kelompok kepentingan dan lainnya menolak kenaikan harga BBM bersubsidi, ada segelintir pertanyaan yang mungkin tak pernah terfikirkan oleh para aktifis, pemerintahan dan wakil rakyat yakni asumsi rakyat mengenai makna kenaikan BBM bersubsidi itu sendiri.  Jangankan mencoba mengerti, untuk mengartikan kata subsidi saja belum tentu rakyat Indonesia tahu. Terlebih bagi kalangan masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah yang acap kali bingung, hingga akhirnya acuh dan pasrah menyikapi hal kenaikan harga BBM bersubsidi yang menurut mereka hanyalah permainan politik pemerintah belaka.

Memang benar bila negara-negara penghasil minyak bumi seperti Saudi Arabia, Irak, Iran, Kuwait, beberapa negara di Timur tengah lain Venezuella dan lainnya mensubsidi BBM kepada rakyatnya. Tindakan ini tentu saja menjadi suatu kewajaran, mengingat negara-negara tersebut mempunyai kekayaan minyak bumi yang melimpah, bahkan setiap produksinya mampu menyisakan minyak yang kemudian di ekspor ke negara lain. Negara-negara pengekspor minyak dunia tersebut secara resmi mempunyai lembaga yang menjembatani aktifitas ekspor mereka yakni OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries) atau Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi. OPEC didirikan pada 14 September 1960 di Bagdad, Irak. Saat itu anggotanya hanya lima negara. Sejak tahun 1965 markasnya bertempat di Wina, Austria.

Indonesia sendiri pernah menjadi satu-satunya perwakilan negara Asia dalam OPEC pada periode Desember 1962 sampai Mei 2008 yang kemudian berbalik menjadi negara pengimpor minyak dengan keterdesakan cadangan minyak Indonesia yang hanya tersisa sekira 3,6 miliar barel, dan produksi minyak hanya 830-840 barel per hari. Ini membuat Indonesia harus mengimpor BBM untuk memenuhi kebutuhan BBM 1,4 juta bph.

Pertanyaan yang kemudian muncul dari fakta keterbalikan yang miris mengenai ketersediaan BBM adalah mengenai kebijakan yang ditempuh pemerintah untuk mengekspor minyak. Mengapa pemerintah dengan beraninya membuat kebijakan untuk mengekspor minyak keluar negeri tanpa memperhatikan populasi masyarakat serta ketersediaan stock minyak bumi? Jika pemerintah berdalih bahwa produksi minyak kala itu telah mencukupi kebutuhan minyak dalam negeri dan tersisa untuk di ekspor, lalu mengapa pemerintah tidak terfikirkan untuk berhemat?, dengan memproduksi minyak sesuai kebutuhan rakyat adalah tindakan yang bijak karena mampu menghemat konsumsi di atas batas stock minyak bumi yang ada.

Sekarang disaat persediaan minyak bumi menipis, barulah pemerintahan gencar menyuarakan kenaikan BBM dari massa ke massa dengan dalih menyelamatkan APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) yang sudah membengkak karena banyaknya penyalah gunaan subsidi yang tidak tepat sasaran seperti halnya BBM bersubsidi yang justru banyak dinikmati oleh para kalangan yang mampu.  Lalu dimana peran serta pemerintah dalam pertanggungjawabannya mengawasi ketersampaian subsidi agar tepat sasaran?. Bagaimana dengan kendaraan para PNS, maupun kendaraan berplat merah lainnya yang selalu merampas hak rakyat dengan membeli BBM bersubsidi yang juga berdampak pada pembengkakan APBN?.

Jika pembengkakan APBN akibat penyalahgunaan subsidi selalu menjadi alasan yang di gadang-gadangkan pemerintah untuk menaikan harga BBM, kenapa pemerintah seolah tidak pernah memikirkan untuk mencegah, meminimalisir bahkan menghentikan masalah penyalahgunaan subsidi dan justru sibuk dengan alasan pembengkakan APBN? Lalu bagaimana dengan pajak yang dibayarkan oleh rakyat dalam fungsinya menyuplai APBN yang justru dikorupsi?.

Setiap kebijakan yang dibuat dalam pemerintahan suatu negara memang tak pernah lepas dari pro dan kontra, hal tersebut di dasari dengan adanya kepentingan-kepentingan dari berbagai pihak seperti partai yang ingin menggalang suara mapun unsur pencitraan lainnya. Sekalipun mungkin masih ada keinginan atau tujuan murni dari suatu sikap yang pro / kontra tersebut namun hendaknya setiap kebijakan yang akan dikeluarkan senantiasa di titikberatkan kepada kepentingan rakyat dengan melihat faktor sejarah, prediksi massa depan, kesiapan pemerintah dan aparatur negara serta moment yang tepat agar tidak tersisipi oleh kepentingan-kepentingan tertentu yang seolah pro rakyat namun sebenarnya hanyalah sebagai ajang unjuk gigi untuk kepentingan golongannya sendiri.

Jika sekiranya memang mendesak, maka sosialisasi yang dilakukan pemerintah melalui berbagai media mengenai kenaikan harga BBM bersubsidi seyogyanya dijabarkan secara gamblang dan mendasar, agar dapat memberi pengertian selengkap-lengkapnya serta mampu menjangkau masyarakat dengan pedidikan yang terbatas agar tidak salah tafsir maupun sebagai pendidikan politik untuk menghindari mobilisasi dari pihak-pihak tertentu serta memegang teguh esensi dari kebijakan itu sendiri yakni untuk menyelamatkan APBN dengan penuh tanggung jawab. Mengingat kenaikan harga BBM yang di jadwalkan akan terealisasi pada tahun 2013 ini berdekatan dengan hadirnya bulan Ramadhan (yang biasanya dibarengi dengan kenaikan harga sembako) dan Pemilihan Umum (PEMILU) 2014.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar