Jumat, 07 Juni 2013

Reposisi Peran Gubernur



KATA PENGANTAR

            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa memberikan rahmat dan karuniaNya kepada kita semua. Berkat kemurahan ilmu dan kesehatan yang telah diberikanNya, maka makalah ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu dan sesuai yang diharapkan.

Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam  pemahaman mengenai politik lokal di Indonesia, yang kami pelajari dalam  tugas yang diberikan oleh dosen matakuliah Pemerintahan dan Politik Lokal di Indonesia kami yaitu Dr. Indiana Ngenget M.si. Dalam makalah ini penulis mencoba mengambil tema sesuai dengan yang di tentukan oleh dosen dengan menitikberatkan kepada hal yang sedang marak diperbincangkan banyak kalangan yaitu mengenai masalah pecah kongsi di pemerintahan tingkat provinsi, kabupaten dan kota yang kemudian kami beri judul  “Reposisi Peran Gubernur (dalam undang - undang otonomi daerah)”.

            Dalam penyusunan makalah ini penulis menemui banyak ilmu pengetahuan baru yang terdapat dari proses meramu kajian makalah dari berbagai sumber dan tokoh politik. Hal ini tentunya menjadi suatu pelajaran berharga yang patut kami apresiasikan dalam bentuk ucapan terimakasih kepada dosen mata kuliah kami Dr. Indiana Ngenget M.si yang telah memberikan tugas pembuatan makalah ini, sehingga mampu memicu kami untuk menggali potensi diri serta mendapatkan pengetahuan-pengetahuan yang baru dan tentunya sangat bermanfaat untuk kami kedepannya.

Penulis menyadari bahwa berbicara mengenai politik lokal / otonomi daerah diperlukan sebuah landasan teori yang kuat agar tidak salah kaprah dalam penafsiran dan mengkritisinya. Untuk itu penulis memakai beberapa teori / pemikiran dari beberapa tokoh politik yang ahli di bidangnya, yang salah satunya adalah Prof., Dr., Djohermansyah Djohan, MA.

Meskipun demikian penulis tidak memungkiri atas besarnya kemungkinan akan kesalahan yang terdapat di makalah ini, untuk itu kritik dan saran akan sangat kami hargai untuk dapat membangun perbaikan akan makalah kami kedepannya.


                                                                                            Jakarta, 24 Mei 2013
M. Tabah Didy Kurniady




DAFTAR ISI


Kata pengantar.........................................................................................................i

Daftar isi.................................................................................................................ii

BAB (Pendahuluan)
Latar belakang, Rumusan masalah, Landasan teori................................................iii
 ...
BAB II (Pembahasan)
Contoh kasus, Analis kasus.....................................................................................1

Sejarah UU yang berkaitan dengan Otonomi Daerah............................................2-4

Upaya yang di tempuh pemerintah pusat dan masalah yang belum terselesaikan..5-8

BAB III (Penutup)
Kesimpulan dan saran.............................................................................................9

Daftar Pustaka..................................................................................................................10



BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar belakang

Sudah menjadi rahasia umum jika para bupati dan wali kota hasil pemilihan kepala daerah acap kali mangkir dari undangan rapat- rapat koordinasi pembangunan yang diselenggarakan gubernur. Apalagi jika sang gubernur berasal dari partai politik yang berbeda dengan bupati atau wali kota.[1] Sebagian kepala daerah bahkan hanya mengirim pejabat setingkat sekretaris daerah atau sekretaris kota untuk mewakilinya. Realitas ini jelas merisaukan karena gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah, selain posisi sebagai kepala daerah otonom di tingkat provinsi. Namun, yang menarik, ketika agenda rapat terkait pembagian dana alokasi umum, para bupati dan wali kota berbondong-bondong hadir sendiri. Tampaknya para kepala daerah tersebut mau dikoordinasikan jika terkait dengan uang.

Hal ini menjadi menarik ketika undang – undang mengenai otonomi daerah dari mulai tahun 1945 yang masih dasar dalam mengatur masalah otonomi daerah, kemudian di amandemen kembali pada tahun-tahun berikutnya hingga undang – undang otonomi daerah tahun 2004 di buat, implementasinya justru terkesan wacana saja karena banyak mendapat kendala, khususnya dari para pelaksananya. Karena itu, muncul pemikiran di kalangan pemerintah untuk memperkuat peran gubernur dan juga usulan yang datang dari berbagai lembaga pemerintahan lainnya, khususnya Kementerian Dalam Negeri yang mengusulkan untuk mengubah sistem pemilihan langsung gubernur menjadi tak langsung, entah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ataupun ditunjuk langsung oleh Presiden agar tak dipandang sebelah oleh para bupati/walikota serta mampu menekan angka pemborosan anggaran dalam pemilu langsung. [2]

B. Identifikasi masalah

Dari latar belakang di atas, terdapat gambaran bahwa terdapat disharmonisasi antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten / kota dalam menjalankan fungsinya. Lalu apa sajakah penyebab dari disharmonisasi tersebut dan bagaimana peranan pemerintah pusat dalam menyikapinya?

C. Landasan teori

Dalam makalah ini, penulis mengambil teori dari berbagai pemikiran para tokoh politik melalui buku maupun pandangan mereka mengenai impementasi UU Otonomi daerah yang di dalamnya mencakup peran Gubernur, Pemerintah Pusat & Bupati, diantaranya adalah pemikiran dari Syamsuddin Haris,Djohermansyah Djohan,Gamawan Fauzi, dan Lili Romli.



BAB II
PEMBAHASAN


A. Contoh kasus

Contoh kasus yang bisa diambil dari fakta mengenai adanya disharmonisasi antara pemerintah provinsi (gubernur) dan pemerintah kabupaten (bupati)  adalah kasus yang akhir – akhir ini marak terjadi di berbagai daerah di indonesia seperti yang salah satunya saya kutip dari www.cybersulutnews.com yakni ungkapkan Asisten 1 Sekretaris Daerah (Sekda) provinsi Sulut, MM Onibala ketika membuka Rapat Koordinasi penyelenggaraan pemerintahan umum, yang digelar Biro Pemerintahan dan Humas. Beliau memaparkan bahwa Pemerintah daerah terutama kabupaten/kota sering salah kaprah dalam implementasi otonomi daerah. Dimana, peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah banyak diabaikan. Banyak dijumpai Bupati/Walikota yang mengabaikan peran gubernur termasuk fungsi pemerintah provinsi. Anehnya disaat mendapat masalah, pemerintah kabupaten/kota sering melempar penyelesaiannya ke Pemprov Sulut. Ia mencontohkan, penyelesaian masalah tapal batas antara kabupaten Boltim-Mitra dan batas antara Kota Bitung dan Kabupaten Minut. menurutnyanya bila pemkab/pemkot cerdas, masalah ini bisa diselesaikan secara baik-baik antara pemerintah kabupaten/kota dan bukan justru dilempar ke provinsi. Imbasnya pemerintah provinsi yang dijadikan kambing hitam atas berlarutnya penyelesaian masalah tapal batas. [1]

B. Hasil analisa kasus

Masalah diatas hanyalah satu diantara sekian banyak masalah yang menghambat implementasi undang-undang otonomi daerah yang terjadi di indonesia. Hal tersebut terjadi karena kesalahan penafsiran oleh para bupati terkait dengan undang-undang otonomi daerah tahun 1999 yang mulai di terapkan pada tahun 2000.[2] Dimana dalam undang-undang tersebut tidak tertulis secara gamblang hubungan hierarkis antara pemerintahan provinsi (gubernur) dengan pemerintahan kabupaten/kota (bupati/walikota). Sekalipun selanjutnya dibentuk undang-undang otonomi daerah yang baru yaitu UU no 32 tahun 2004. Namun hadirnya undang-undang tersebut tidak banyak merubah pemikiran para bupati untuk menghormati dan menuruti perintah gubernur dalam menjalankan wewenangnya. Karena tak dapat dipungkiri bahwa dalam undang-undang otonomi daerah no 32 tahun 2004 tidak banyak merubah klasifikasi peran/fungsi gubernur, ditambah adanya persepsi bahwa para bupati dipilih berdasarkan selera atau keinginan dari rakyat.

C. Sejarah UU yang berkaitan dengan Otonomi Daerah

Proses mencari format pemerintahan daerah yang ideal di negara kita telah berlangsung sejak diproklamasikannya kemerdekaan yang diawali dengan dikeluarkannya UU Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Kedudukan Komite Nasional Daerah, dan disusul silih berganti dengan diterbitkannya beberapa Undang-Undang dan Peraturan lainnya, hingga yang terakhir UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan pengganti dari UU Nomor 22 Tahun 1999. Setiap undang-undang Pemerintahan Daerah yang baru, pada dasarnya merupakan koreksi dan penyempurnaan dari undang-undang dan peraturan yang lama, yang dianggap tidak sesuai lagi dengan amanah konstitusi dan perkembangan zaman. Begitu seterusnya, undang-undang Pemerintahan Daerah baru selalu memuat ketentuan-ketentuan baru guna memenuhi tuntutan aktual masyarakat lokal sebagai stakeholder dan kehendak pemerintah pusat sebagai shareholder. Dampaknya, implementasi kebijakan otonomi daerah kita penuh dengan aneka eksperimen. Akibatnya, tidak terelakkan timbulnya berbagai kebingungan dan kekacauan dalam penyelenggaraan otonomi daerah kita. [3]

Apabila dilihat segi substansi dan spirit yang terkandung di dalamnya, kebijakan otonomi daerah merupakan salah satu instrument yang digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan kualitas pelayanan publik, maupun mengembangkan budaya demokrasi di tingkat lokal. [4] Hal tersebut didasari argumentasi bahwa pada saat kesejahteraan masyarakat dan proses kehidupan demokrasi di tingkat lokal sudah mencapai tahapan yang lebih maju, maka secara akumulatif diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian hingga kini masih terdapat perbedaan persepsi dan pemahaman terhadap makna yang terkadung dalam desentralisasi, dimana persepsi tersebut dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan sesaat dari segelintir elit politik di negeri ini.

Secara empirik, di Indonesia telah terjadi delapan kali perubahan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah, namun saat ini masih terjadi multi interpretasi baik di tingkat lokal/daerah maupun di tingkat pusat/antar departemen. Hal tersebut dapat dilihat melalui berbagai permasalahan yang timbul akibat perbedaan penafsiran terhadap undang-undang tentang pemerintahan daerah, maupun terbitnya peraturan perundangan yang bertentangan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berbasis pada asas desentralisasi dan otonomi yang nyata, luas dan bertanggungjawab.            [5]

Apabila dilihat dari sejarahnya yaitu sesaat setelah kemerdekaan seperti yang sebelumnya telah dibahas, Pemerintah menerbitkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 sebagai undang-undang pertama yang mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah, meskipun secara formal undang-undang tersebut bukan undang-undang tentang pemerintahan daerah. Selanjutnya silih berganti terbitlah undang-undang yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah, yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1959, Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Setiap undang-undang tersebut mengatur otonomi daerah, namun cenderung berbeda-beda sesuai dengan kondisi sosial politik yang terjadi pada saat penyusunan undang-undang tersebut.Perbedaan penafsiran terhadap esensi dari otonomi daerah yang saat ini terjadi di Indonesia, mengakibatkan negara kita tertinggal jauh dengan negara-negara lain yang sudah mengaktualisasikan kebijakan desentralisasi dalam upaya menciptakan tata pemerintahan yang baik (good governance) dan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik yang bersih serta bebas dari KKN (clean government). Sehingga sebagai akibatnya implementasi dari perubahan paradigma otonomi daerah dirasakan masih tersendat-sendat.[6]

Pada Undang-undang No. 22 Tahun 1999 terdapat klausul yang menyatakan bahwa Provinsi bukan merupakan Pemerintah atasan dari Daerah Kabupaten/Daerah Kota, dan hubungan antara Provinsi dengan Daerah Kabupaten/Daerah Kota bukan merupakan hubungan hierarkis. Pemutusan hierarki antara provinsi dan kabupaten/kota dalam kapasitasnya sebagai daerah otonom bukan tanpa masalah karena pada implementasinya para bupati/walikota tidak dapat memisahkan antara fungsi gubernur sebagai kepala daerah otonom dan sebagai wakil pemerintah pusat.Hal ini mendorong munculnya euphoria pada Daerah Kabupaten/Daerah Kota terhadap kewenangan yang dimilikinya, sehingga seringkali mengabaikan dan menafikan eksistensi lembaga Provinsi maupun Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah. Kecenderungan semacam ini pada akhirnyanya akan membawa dampak yang kurang baik dalam proses penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai subsistem pemerintahan negara. Pemahaman yang salah inilah yang merupakan sumber kontroversi kedudukan dan kewenangan Gubernur.

Melalui Undang-undang No. 32 Tahun 2004 sebagai revisi terhadap Undang-undang No. 22 Tahun 1999 telah dilakukan penguatan terhadap fungsi dan peranan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah. Namun demikian pada kenyataannya masih terdapat Bupati/Walikota yang menafikan peran Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Ini adalah Pemahaman yang keliru terhadap esensi Otonomi Daerah dan kerana adanya keinginan untuk kembali kepada  Undang-undang No. 22 tahun 1999.

Baik sebagai wakil pemerintah pusat maupun sebagai kepala daerah, gubernur memiliki kewenangan terbatas yang berimplikasi terhadap kewenangan yang tidak jelas. Dilemanya, sebagian pihak mengkhawatirkan bentuk negara kesatuan mengarah ke federasi apabila gubernur memiliki kewenangan sepenuhnya sebagai kepala daerah. Padahal, peran gubernur sangat penting sebagai unsur perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang bertanggungjawab kepada presiden dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat.

Dalam sejarah pemerintahan daerah di Indonesia, salah satu pengimbang antara sentralisasi pemerintah pusat dan desentralisasi pemerintah daerah ialah peran ganda gubernur. Sebagai wakil pemerintah pusat, UU 32/2004 menjabarkan tugas dan wewenang gubernur, yaitu pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan urusan pemerintahan kabupaten/kota, koordinasi penyelenggaraan urusan pemerintah di provinsi dan kabupaten/kota, serta koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di provinsi dan kabupaten/kota.

Gubernur harus menjamin keterlaksanaan visi dan misi pemerintah pusat, terutama tugas-tugas pemerintahan umum seperti stabilitas dan integrasi nasional, koordinasi pemerintahan dan pembangunan, serta pengawasan penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota. Konsekuensinya, diperlukan pengaturan sistematis yang menggambarkan hubungan berjenjang, baik pengawasan, pembinaan, maupun koordinasi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di kabupaten/kota.

Sedangkan, gubernur sebagai kepala daerah menyelenggarakan otonomi seluas-luasnya, utamanya urusan lintas kabupaten/kota, kecuali urusan pemerintahan yang ditentukan undang-undang sebagai urusan pemerintah pusat. Penguatan peran gubernur sebagai kepala daerah memperkuat orientasi pengembangan wilayah dan memperkecil dampak kebijakan desentralisasi terhadap fragmentasi spasial, sosial, dan ekonomi di daerah.

Jika diperjelas dalam UU Pemerintahan Daerah maka reposisi peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat mengurangi masalah implementasi UU 22/1999 juncto UU 32/2004 yang gagal mengubah paradigma bupati/walikota sebagai “penguasa lokal” kabupaten/kota.[7] Dua UU yang tidak eksplisit menyebut hirarki antara provinsi dan kabupaten/kota ternyata melemahkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah dalam melakukan pengawasan, pembinaan, dan koordinasi. Fenomenanya, pemerintah kabupaten/kota menghubungi pemerintah pusat tanpa sepengetahuan pemerintah provinsi, mereka bekerjasama dengan pihak luar negeri, bupati/walikota melakukan perjalanan dinas, dan perencanaan di kabupaten/kota tanpa sepengetahuan pemerintah provinsi. Ironisnya, ketika pemerintah kabupaten/kota menghadapi persoalan di daerahnya, seperti bencana, penyakit, kelaparan, pertanahan, perbatasan, hukum, atau keamanan, bupati/walikota meminta gubernur mengintervensi dan bertanggungjawab.

D. Upaya yang di tempuh pemerintah pusat dan masalah yang belum terselesaikan

Karena sering diabaikan oleh para bupati, akhirnya para gubernur mengusulkan agar gubernur mempunyai kewenangan yang tegas terhadap bupati/walikota di wilayah provinsinya tanpa mengurangi otonomi kabupaten/kota, karena penguatan peran gubernur memperpendek rentang kendali dan mengurangi penyelesaian masalah di tingkat pemerintah pusat. Kiranya, reposisi peran gubernur dalam UU Pemerintahan Daerah merupakan kebutuhan desentralisasi dalam hubungan pusat-daerah, tidak hanya menjawab beberapa masalah penyelenggaraan pemerintahan daerah juga memperbaiki berbagai kelemahan UU 32/2004.

Konsekuensi sistem pemerintahan lokal berkarakter integrated prefectoral system yang diterapkan di Indonesia adalah hirarki daerah otonom serta gubernur mempunyai kewenangan untuk mengoordinasi, mengawasi, menyupervisi, dan memfasilitasi agar daerah mengoptimalkan penyelenggaraan otonominya. Gubernur juga mempunyai “tutelage power”, yaitu kewenangan membatalkan kebijakan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Upaya Pemerintahan Pusat untuk mereposisi peran dan kewenangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat akhirnya terwujud dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010. Sekalipun dalam implementasinya masih belum dapat mengubah sepenuhnya pandangan bupati terhadap gubernur, namun terbitnya peraturan ini tetap menjadi sebuah harapan tersendiri laksana sebuah hadiah di awal tahun yang diharapkan akan membawa kemajuan dalam pelaksanaan otonomi daerah yang berbingkai negara kesatuan. Namun demikian, peraturan ini bukan merupakan akhir dari sebuah penantian, namun justru merupakan langkah awal dari sebuah perjalanan panjang dalam mewujudkan penguatan kedudukan dan kewenangan Gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah agar semangat otonomi dan desentralisasi tetap berada dalam koridor negara kesatuan.

Meski demikian, penguatan kedudukan dan kewenangan Gubernur harus dilakukan dengan tujuan penguatan lokal, bukan sebaliknya bertujuan resentralisasi kekuasaan. Karena hakikat otonomi daerah adalah mendekatkan pelayanan dan pemerintahan kepada masyarakat. Harus dibuka keseimbangan antara kepentingan yang bersifat nasional serta regional dan kepentingan yang bersifat lokal. Di sini dianut gabungan antara prinsip uniformitas dan subsidiaritas, di mana kewenangan pelayanan dan pemerintahan seharusnya memperhatikan kepentingan nasional dan lokal. Hal tersebut disebabkan karena kedudukan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat tidak dapat dipisahkan dari konsepsi dasar pemerintahan sebagai sebuah sistem. Bahkan dalam negara federal sekalipun, hubungan antar tingkat pemerintahan tidaklah putus. Provinsi sebagai intermediate goverment merupakan penyambung dan penghubung. [8]

Pada pasal 38 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004  telah diatur kedudukan Gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah, namun tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang serta kedudukan  keuangan Gubernur diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2010. Peraturan Pemerintah tersebut diharapkan penguatan terhadap kedudukan dan kewenangan Gubernur sebagai wakil pemerintah di Provinsi namun dalam pelaksanaannya belum efektif dilakukan Gubernur khususnya  dalam pelaksanaan koordinasi, pembinaan dan pengawasan. Untuk itu Pemerintah melakukan perubahan terhadap PP Nomor 19 Tahun 2010 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2011 yang antara lain ditegaskan bahwa pendanaan tugas dan wewenang Gubernur sebagai wakil Pemerintah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara melalui mekanisme dana dekonsentrasi yang dituangkan dalam rencana kerja dan anggaran Kementerian Dalam Negeri.

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2011 juga mengatur sanksi terhadap Bupati/Walikota yang tidak hadir dalam pelaksanaan rapat-rapat koordinasi dengan mengusulkan kepada kementerian/lembaga terkait untuk tidak mengalokasikan dana tugas pembantuan kepada kabupaten/kota yang bersangkutan pada tahun anggaran berikutnya. Implementasi Peraturan Pemerintah tersebut  dalam upaya penguatan tugas dan wewenang Gubernur sebagai wakil Pemerintah di provinsi, juga tidak efektif karena Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak mengatur penguatan tugas Gubernur sehingga pemberian sanksi terhadap Bupati/Walikota yang hanya diatur melalui Peraturan Pemerintah bisa saja tidak diindahkan oleh Bupati/Walikota. Oleh karena itu dalam upaya penguatan tugas dan wewenang Gubernur harus melalui undang-undang yakni dengan merubah UU Nomor 32 Tahun 2004.[9]

Selain masalah peran ganda, pecah kongsi, dan perubahan UU otonomi daerah, Indonesia masih menyimpan satu masalah pelik lainnya yang juga mempunyai kaitan dengan cara pandang bupati terhadap gubernur dan juga mengenai sistem pemilihan gubernur yang sedang berlaku. Diskursus tentang perubahan sistem pemilihan kepala daerah khususnya pemilihan Gubernur mulai bergulir sejalan dengan banyaknya ketidakpuasan berbagai pihak untuk tidak lagi menggunakan sistem pemilihan Gubernur secara langsung oleh rakyat karena dianggap rawan konflik, kecurangan serta membutuhkan anggaran yang besar. Usulan terhadap perubahan mekanisme pemilihan Gubernur tersebut mencuat ketika Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri mengusulkan Rancangan Undang-undang Pemillihan Kepala Daerah (RUU Pilkada). RUU Pilkada yang merupakan bagian dari revisi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) yang di dalamnya mengatur pemilihan gubernur secara langsung. Saat ini, RUU Pilkada sedang dalam proses pembahasan oleh DPR sebagai bagian dari program legislasi nasional.


Dalam RUU Pilkada tersebut, Pemerintah mengajukan usulan perubahan sistem pemilihan Gubernur yaitu merubah sistem pemilihan Gubernur secara langsung oleh rakyat menjadi sistem pemilihan Gubernur secara perwakilan oleh DPRD Provinsi. Sementara untuk mekanisme pemilihan bupati/wali kota tetap secara langsung oleh rakyat. Di samping itu, untuk mekanisme pemilihan wakil kepala daerah tidak lagi dipilih secara berpasangan dengan kepala daerah, tetapi wakil kepala daerah diusulkan oleh kepala daerah terpilih dari pegawai negeri sipil. Hal itu untuk menghindari fenomena “pecah kongsi” yang mengakibatkan tidak efektifnya penyelenggaraan pemerintahan daerah. Beberapa usulan perubahan mendasar lainnya yang tercantum dalam RUU Pilkada adalah mencegah politik dinasti dan politik transaksi, mendukung netralitas birokrasi, efisiensi kampanye, pengaturan terhadap calon inkumben, dan penyelesaian sengketa pilkada.

Namun setelah sekian lama implementasi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda mulai dari tahun 2004 hingga sekarang, banyak masyarakat Indonesia mempertanyakan, apakah mekanisme pemilihan Gubernur secara langsung oleh rakyat masih sesuai dengan tujuan demokrasi itu sendiri?. Hal itulah yang menjadi usulan Pemerintah melalui RUU Pilkada untuk mengubah mekanisme pemilihan Gubernur secara langsung oleh rakyat menjadi pemilihan Gubernur oleh DPRD. Usulan perubahan pemilihan Gubernur tersebut merupakan topik yang sangat serius, karena mengingat berpotensi menyurutkan pembangunan demokrasi di Indonesia yang bermaksud mengurangi peran rakyat dalam menentukan pemimpinnya di daerah.

Setidaknya terdapat pro dan kontra terkait dengan usulan pemerintah yang mengusulkan pemilihan Gubernur oleh DPRD. Bagi pihak yang kontra terhadap usulan pemilihan Gubernur oleh DPRD menyatakan, bahwa pemilihan Gubernur oleh DPRD adalah merupakan suatu kemunduran yang luar biasa bagi demokrasi Indonesia. Karena Pemilihan Gubernur oleh DPRD tidak mencerminkan kedaulatan rakyat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Masyarakat luas tidak tahu siapa dan bagaimana visi dan misi para calon Gubernur mereka, artinya DPRD menjadi sebagai kekuatan dominan yang akan membajak hak rakyat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Dengan demikian pemilihan Gubernur Oleh DPRD dapat mengingkari hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (rights to vote and rights to be candidate), merupakan hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional. Maka pembatasan, penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi warga negara. Berbeda juga alasan bagi pihak yang pro, setidaknya ada dua alasan khusus untuk yang setuju dengan pemerintah dalam hal usulan pemilihan gubernur oleh DPRD. Pertama, yaitu untuk meningkatkan efisiensi anggaran pemilu yang memiliki biaya yang sangat tinggi untuk prosedur pemilihan Gubernur. I Gusti Putu Artha, mantan Anggota Komisi Pemilihan Nasional menyebutkan, bahwa anggaran yang dibutuhkan untuk setiap pemilihan gubernur langsung oleh rakyat adalah sekitar Rp 70 miliar menjadi Rp 90 miliar atau sekitar US $ 7,5 juta menjadi US $ 10 juta. [10]

Bahkan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi juga menyatakan, bahwa setiap calon yang ingin menjalankan dalam pemilihan gubernur langsung membutuhkan setidaknya lebih dari Rp 20 miliar atau sekitar US $ 2 juta. Sementara itu, gaji pokok gubernur sebesar Rp 8,7 juta per bulan, kalau mau menjadi seorang gubernur membutuhkan uang Rp 20 miliar, dengan gaji gubernur sebesar Rp 8,7 juta per bulan, maka butuh waktu berapa lama untuk mengembalikan uang Rp 20 miliar itu? (Kompas, 23 Juli 2010). Oleh karena itu, kita dapat mengasumsikan bahwa calon terpilih memanfaatkan kesempatan apapun untuk mendapatkan kembali uang mereka yang dikeluarkan selama proses kampanye mereka. Kedua, bahwa Gubernur hanya memiliki tingkat otoritas yang rendah. Rendahnya intensitas hubungan antara Gubernur dan masyarakat tidaklah menuntut akuntabilitas yang tinggi dari Gubernur kepada masyarakat. Oleh karena itu, Pemerintah mencatat, bahwa proses pemilihan langsung akan terlalu mahal hanya untuk pemilihan gubernur karena otoritas mereka hanya sebagai wakil pemerintah pusat di tingkat daerah. [11]



BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan dan Saran

Melihat peliknya masalah implementasi undang-undang otonomi daerah di indonesia seolah membuat cerminan betapa lamban dan tidak teraturnya bentuk kebijakan pemerintah di negeri ini. Banyaknya masalah yang timbul dari  buntut ketidak sinergisan antar lembaga peerintahan juga menjadi fakta yang nyata karena adanya miss komunikasi dan tradisi pembuatan undang-undang yang banyak dinilai masyarakat sebagai langkah yang asal jadi. Sehingga undang-undang yang dihasilkan hanyalah sebuah produk hukum yang belum teruji dan berkesan menggunakan masyarakat sebagai bahan eksperimennya.

Dalam hal otonomi daerah pun pemerintah hanya menitikberatkan hal-hal umum yang seolah hanya sebagai formalitas dari wujud perhatiannya akan seruan demokrasi oleh rakyat. Hal ini dapat dilihat dari undang-undang otonomi daerah yang mengatur mengenai wewenang dan fungsi gubernur, yang tidak jelas menyebutkan hubungan hierarki antara gubernur dan bupati/walikota.

Penataan kedudukan dan wewenang Gubernur di masa yang akan datang harus didasarkan pada pertimbangan demi tegaknya Indonesia sebagai Negara Kesatuan, tantangan globalisasi, tuntutan good governance, masalah koordinasi, pembinaan dan pengawasan, bahkan pemerintah daerah sebagai instrumen pendidikan politik di tingkat lokal serta peningkatan kesejahteraan maka pilihan otonomi sebaiknya dititikberatkan pada provinsi, sehingga Gubernur dapat melaksanakan peran dan kewenangannya baik sebagai kepala daerah maupun sebagai wakil pemerintah di provinsi.

Peran Pemerintah seharusnya lebih ditekankan pada aspek kebijakan nasional, Provinsi pada koordinasi penyelenggaraan kebijakan dan kabupaten/kota sebagai pelaksana kebijakan. Penegasan kedudukan dan kewenangan Gubernur, maka Pemerintah dengan seluruh aparaturnya lebih berkonsentrasi dalam menjalankan roda pemerintahan nasional dari pada melayani Bupati/Walikota yang demikian banyak di seluruh Indonesia di satu sisi dan di sisi lain Bupati/Walikota lebih berkonsentrasi dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan di daerah.

  

DAFTAR PUSTAKA



Http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/04/06/1/144413/Saldi-Pecah-Kongsi-Kepala-Daerah-Ciptakan-Dualisme-di-Birokrasi (Gamawan Fauzi)

Http://syamsuddinharis.wordpress.com/2011/01/07/memperkuat-peran-gubernur
(Syamsudin Haris)

Http://www.cybersulutnews.com/index.php?document_srl=20004&mid=sulutnews

Marbun, B.N.  (Otonomi daerah 1945 2010 proses dan realita: perkembangan Otda, sejak zaman kolonial sampai saat ini, edisi revisi / Jakarta , Pustaka Sinar Harapan 2010 hal 1-9)

Lili Romli (Potret otonomi daerah dan wakil rakyat di tingkat lokal , Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2007. Hal 1-7)

Http://repository.ipdn.ac.id/96/3/1._BAB_I_Rev_UP.pdf

Hadiwijoyo, Suryo Sakti (GUBERNUR; Kedudukan, Peran dan Kewenangannya, graha ilmu Surabaya hal 1-8)

Http://otda.kemendagri.go.id/index.php/categoryblog/781-membangun-kapasitas-daerah-dalam-bingkai-otonomi (Gemawan Fauzi)

Http://politik.kompasiana.com/2011/09/22/reposisi-peran-gubernur-dalam-uu-pemerintahan-daerah-381878.html

Pascasarjanaunsrat.com/.../Kedudukan-Dan-Wewenang-Gubernur

Http://bestariabadi.blogspot.com/2013/05/usulan-perubahan-sistem-pemilihan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar