Jumat, 07 Juni 2013

Pluralisme dan Konflik di Lampung




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang


            Indonesia merupakan salah satu bangsa yang paling plural di dunia dengan lebih dari 500 etnik dan menggunakan lebih dari 250 bahasa.[1] Karenanya, sebagaimana bangsa multietnik lainnya, persoalan-persoalan mengenai pengintegrasian berbagai etnik kedalam kerangka persatuan nasional selalu menjadi tema penting. Ironisnya, setelah sekian puluh tahun kemerdekaan, pertikaian antar etnik tetap saja terjadi. Sementara pembauran antar etnik intens berlangsung terutama di daerah-daerah urban, konflik antar etnik terus terjadi. Di satu sisi di galakkan upaya untuk meningkatkan nasionalisme guna mengurangi etnosentrisme, namun di sisi lain tumbuh subur pemujaan etnik.

            Tak terkecuali di daerah Lampung, sebuah provinsi di ujung pulau Sumatera yang memiliki keanekaragaman budaya, baik itu dari penduduk asli maupun dari para pendatang. Sehingga tak heran jika Lampung seringkali mendapat julukan Indonesia mini. Namun sayangnya warna pluralitas budaya tersebut harus menjadi semu karena terhambat oleh konflik yang didasari berbagai faktor, sehingga sangatlah susah untuk mewujudkan integrasi guna mewujudkan pembangunan yang merata dan bermanfaat dalam skala besar.

B. Identifikasi Masalah

            Untuk mengetahui mengenai pluralitas budaya dan konflik di Lampung, maka haruslah mengupas hal-hal yang berkaitan dengan masalah tersebut meliputi:

1. Kajian pluralitas budaya di Lampung

2. Faktor penyebab konflik yang menghambat  integrasi


C. Landasan Teori

            Landasan teori yang sesuai untuk dipakai dalam mengkaji masalah pluralitas dan konflik budaya  daerah Lampung diantaranya adalah pemikiran Max weber (tentang keinginan dalam kedudukan sosial), dan pemikiran Clifford Gerrz (tentang ikatan primordial).



BAB II
PEMBAHASAN



A. PLURALITAS BUDAYA DAN BENTUK-BENTUKNYA DI LAMPUNG


I. Kehidupan Masyarakat Lampung Asli

            Indonesia kaya akan berbagai macam suku bangsa dan kebudayaan daerah. Namun adanya kekayaan budaya tersebut sering kali tidak di imbangi dengan sikap toleransi dan empati oleh tiap-tiap suku bangsa. Hal ini menyebabkan munculnya kesalahpahaman yang berujung pada terjadinya konflik yang dapat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa kita. Keberagaman kebudayaan sering disebut dengan pluralitas budaya, hal ini mengacu pada pendapat E.B.Tylor yaitu kebudayaan merupakan sesuatu yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukun, adat istiadat, kesanggupan, serta kebiasaan lainnya yang dipelajari oleh manusia sebagai  anggota masyarakat.[2] Maka, dengan adanya pluralitas budaya dalam suatu negara diperlukan nilai dan norma budaya untuk mengatur unsur-unsur yang tercakup dalam kebudayaan tersebut.

            Sejumlah ahli antropologi mengatakan mengenai pentingnya keanekaragaman kebudayaan sacara vertikal dalam masyarakat. Mereka menekankan mengenai pentingnya keanekaragaman kebudayaan yang dinamakan pluralism budaya. Menurut konsep ini, peraturan atau perundangan  yang dibuat pemerintah harus menghargai perbedaan budaya yang ada dan merupakan produk sejarah masa lalu serta menjamin adanya kesamaan derajat di masyarakat. Adanya pluralisme budaya kemudian mendasari munculnya multikulturalisme.

            Menurut Bennet, mutikulturalisme merupakan ideologi yang mengagungkan persamaan derajat baik perbedaan individual maupun kebudayaan. Multikulturalisme memiliki tujuan untuk memperjuangkan kesamaan hak golongan minoritas secara hukum dan social.[3] Multikulturalis mendorong masyarakat untuk melonggarkan batas suku bangsa yang dipagari oleh kebudayaan masing-masing. Melalui pendidikan di sekolah, kita diajarkan memahami kebudayaan lain yang berbeda-beda.

Adanya pemahaman ini, diharapkan membuat prasangka dan stereotip dapat dihilangkan dan pemahaman kesamaan derajat pun dapat terwujud Pluralitas budaya sering disamakan dengan istilah multikulturalisme. Dua istilah tersebut memang memiliki makna yang mirip. Akan tetapi, multikulturalisme merupakan paham atau ideologi yang menganjurkan masyarakat untuk menerima dan menganggap keanekaragaman budaya adalah hal yang wajar dalam suatu wilayah. Ada pula istilah pluralism kebudayaan yang pemahamannya berbeda dengan pluralitas kebudayaan. Menurut koentjaraningrat, pluralisme kebudayaan adalah dua macam tradisi kebudayaan atau lebih yang membagi masyarakat ke dalam golongan social yang berbeda-beda.[4] Gejala ini dijadikan konsep untuk memahami dan menganalisis proses-proses social yang terjadi dalam masyarakat berkebudayaan majemuk yang berbeda dengan masyarakat berkebudayaan tunggal.

            Di Lampung sendiri pluralitas budayanya sangatlah lengkap, yang terdiri dari banyak budaya lokal (Lampung asli) dan budaya lokal (dalam konteks nasional) yang merupakan pendatang diwilayah tersebut. Kebudayaan lokal adalah kebudayaan yang dimiliki masyarakat-masyarakat lokal di dalam Negara Indonesia. Masyarakat lokal atau sering disebut masyarakat setempat adalah masyarakat yang mendiami suatu wilayah dengan batas-batas geografis, seperti gunung, laut, sungai, lembah, hutan, bukit, selat, persawahan, atau batas-batas buatan manusia, seperti tugu, pal, dan gapura.[5] Kebudayaan lokal sering disebut sebagai kebudayaan daerah. Setiap daerah memiliki kebudayaan masing-masing, mulai dari Aceh, Jawa, hingga Papua. Keberadaan budaya tersebutlah yang membuat Indonesia memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri dibandingkan Negara lain. Keberagaman budaya tersebut kemudian tercakup dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.

            Kemajemukan masyarakat Indonesia dapat dilihat dengan adanya kenyataan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari bermacam suku bangsa dan etnik dengan kebudayaannya masing-masing. Kebudayaan yang berbeda satu sama lain tersebut secara idealis hidup di bawah naungan negara Indonesia. Namun untuk mengukur keidealan integrasi suatu bangsa dapat dilihat dari konflik yang terjadi disuatu daerah baik itu yang terjadi antar budaya lokal (pribumi) maupun antara budaya lokal (pribumi) dengan budaya lokal (dalam konteks nasional) yang merupakan pendatang. Seperti yang terjadi di Lampung yang kerap dijuluki Indonesia mini karena keanekaragaman budaya nasional yang berada di daerah tersebut.[6]

            Sejak zaman kolonialisme, Belanda mengirim orang dari luar Lampung, lingkungan sosial masyarakat Lampung berada dalam dinamika pluralisme. Selanjutnya tak henti-henti pula arus perpindahan secara besar-besaran dari berbagai daerah di Indonesia ke Provinsi Lampung. Hampir tak terbatas waktu provinsi Lampung menerima warga baru, baik yang berawal sebagai tamu berangsur menetap, maupun yang secara sengaja berpindah untuk mencari penghidupan baru. Arus deras perpindahan penduduk etnis dan budaya dari luar Lampung ke dalam lingkungan kehidupan masyarakat Lampung ini merupakan pengaruh pencitraan Belanda bahwa pribumi masyarakat Lampung adalah etnis yang ramah dan terbuka. Tujuan dicitrakannya orang Lampung sebagai etnis terbuka menerima kehadiran pendatang ini adalah agar kehadiran orang asing tidak menimbulkan resistensi, baik terkait dengan perbedaan etnis, agama, ras dan budaya maupun terkait dengan hak ulayat atas tanah adat yang menjadi lokasi garapan.

Pada sisi lain masyarakat Lampung yang memiliki falsafah hidup fiil pesenggiri dengan salah satu unsurnya adalah ”Nemui-nyimah” yang berarti ramah dan terbuka kepada orang lain, maka tidak beralasan untuk berkeberatan menerima penduduk pendatang.[7] Pada masa pasca kemerdekaan, citra sebagai masyarakat adat yang menerima kehadiran orang lain itu cenderung diterima secara terbuka, sehingga kemudian mengkristal di dalam konsep Sai Bumi Ruwa Jurai (hanya sama saja yaitu di dalam satu bumi Lampung yang terdapat dua cabang yakni pesisir dan pepadun, Dalam tafsiran lain disebut dengan penduduk pendatang dan asli). Harapannya adalah agar kehidupan sosial masyarakat Lampung yang terdiri penduduk asli dan pendatang ini menjadi sebuah lingkungan sosial dengan komunitas yang hidup rukun, berdampingan dan bekerjasama. Perbedaan yang ada dapat dijadikan kekuatan baru dalam membangun kehidupan yang harmonis. Distribusi kelompok etnis di Lampung meliputi warga Lampung asli, Semendo (Sum-Sel), Bali, Lombok, Jawa, Minang/Padang, Batak, Sunda, Madura, Bugis, Banten, Palembang, Aceh, Makassar, warga keturunan, Warga asing (China, Arab) dan lain-lain

Sedangkan masyarakat adat Lampung secara garis besar terbagi dalam  dua kelompok adat, yaitu masyarakat adat Lampung Sai Batin dan masyarakat adat Lampung Pepadun sebagaimana terkristalisasi dalam kesatuan adat budaya masyarakat Lampung seperti yang telah disebutkan diatas yakni ”Sang Bumi Ruwa Jurai”. (hanya sama saja yaitu di dalam satu bumi Lampung).[8]

Masyarakat adat Sai Batin terdiri dari ragam marga yang tersebar di berbagai wilayah. Pada mulanya secara umum tersebar di kawasan pesisir pantai, kemudian pada dekade selanjutnya tersebar juga di daerah pedalaman dan sektor perkotaan. Demikian juga sebaliknya masyarakat adat Lampung Pepadun juga kemudian tersebar dan membaur (inkulturasi) dengan kelompok masyarakat lainnya, baik dalam lingkungan dua kelompok budaya secara umum, maupun dalam lingkungan jurai marga (teritorial) atau kebuawaian (garis keturunan) dari masing-masing kelompok budaya tersebut.

a. Masyarakat beradat Lampung Saibatin

Masyarakat Adat Lampung Saibatin mendiami wilayah adat: Labuhan Maringgai, Pugung, Jabung, Way Jepara, Kalianda, Raja Basa, Teluk Betung, Padang Cermin, Cukuh Balak, Way Lima, Talang Padang, Kota Agung, Semaka, Suoh, Sekincau, Batu Brak, Belalau, Liwa, Pesisir Krui, Ranau, Martapura, Muara Dua, Kayu Agung, empat kota ini ada di Propinsi Sumatera Selatan, Cikoneng di Pantai Banten dan bahkan Merpas di Selatan Bengkulu. Masyarakat Adat Saibatin seringkali juga dinamakan Lampung Pesisir karena sebagian besar berdomisili di sepanjang pantai timur, selatan dan barat lampung, masing masing terdiri dari:
-Paksi Pak Sekala Brak (Lampung Barat)
-Bandar Enom Semaka (Tanggamus)
-Keratuan Putih Bandakh Lima Teluk Semaka di Cukuh Balak, Limau, Kelumbayan, Kelumbayan Barat, Kedondong, Way Lima, Way Khilau, Pardasuka, Pardasuka Selatan, Bulok, Talang Padang, Gunung Alif, serta sebagian Padang Cermin, Punduh Pedada, Teluk Betung dan Kalianda (Tanggamus - Pesawaran - Pringsewu - Lampung Selatan) terdiri dari Bandakh seputih , yaitu Buay Humakhadatu, Buay TambaKukha, Buay HuluDalung, Buay HuluLutung, Buay Pematu, Buay Akhong dan Buay Pemuka. Bandakh Sebadak, yaitu  Buay Mesindi (Tengklek). Bandakh Selimau yaitu Buay Tungau, Buay Babok dan Buay Khandau. Bandakh Sepertiwi  yaitu  Buay Sekha, Buay Samba dan Buay Aji. Bandakh Sekelumbayan yaitu  Buay Balau (Gagili), Buay Betawang dan Buay Bakhuga.
-Keratuan Melinting (Lam-Tim)                     -Keratuan Darah Putih (Lam-Sel)
-Keratuan Komering (Prov Sum-Sel)             -Cikoneng Pak Pekon (Prov Banten) [9]


b. Masyarakat beradat Pepadun/Pedalaman terdiri dari:

-Abung Siwo Mego (Unyai, Unyi, Subing, Uban, Anak Tuha, Kunang, Beliyuk, Selagai, Nyerupa). Masyarakat Abung mendiami tujuh wilayah adat: Kotabumi, Seputih Timur, Sukadana, Labuhan Maringgai, Jabung, Gunung Sugih, dan Terbanggi.
-Mego Pak Tulangbawang (Puyang Umpu, Puyang Bulan, Puyang Aji, Puyang Tegamoan). Masyarakat Tulangbawang mendiami empat wilayah adat: Menggala, Mesuji, Panaragan, dan Wiralaga.
-Pubian Telu Suku (Minak Patih Tuha atau Suku Manyarakat, Minak Demang Lanca atau Suku Tambapupus, Minak Handak Hulu atau Suku Bukujadi). Masyarakat Pubian mendiami delapan wilayah adat: Tanjungkarang, Balau, Bukujadi, Tegineneng, Seputih Barat, Padang Ratu, Gedungtataan, dan Pugung.
-Sungkay-WayKanan Buay Lima (Pemuka, Bahuga, Semenguk, Baradatu, Barasakti, yaitu lima keturunan Raja Tijang Jungur). Masyarakat Sungkay-WayKanan mendiami sembilan wilayah adat: Negeri Besar, Ketapang, Pakuan Ratu, Sungkay, Bunga Mayang, Blambangan Umpu, Baradatu, Bahuga, dan Kasui. [10]

II. Tradisi / Kebudayaan Masyarakat Lampung Asli

1. Kebiasaan Ngarak Maju Atau Budaya Ngarak

Ngarak menurut istilah adalah Arak-arakan, sedangkan Maju adalah Pengantin. Maka “Ngarak Maju” adalah Adat arak-arakan pengantin Lampung yang dilakukan di tempat pihak pengantin pria, sebagai pertanda bahwa si pria telah resmi menikahi dengan si wanita (pengantin perempuan). Dalam tradisi ngarak tersebut unsur yang terpengaruh Budaya Islam adalah penggunaan alat musik Rabana sebagai alat musik pengiring arak-arakan dan pelantunan Salawat dan Syair Arab yang dikenal dengan istilah Zikir Lama dan Zikir Baru. Demikian juga pada saat pengantin telah tiba di rumah pihak pengantin pria (setelah diarak), maka pihak keluarga si Pria menyambut rombongan Arakan tersebut dengan melantunkan Syair Arab “Lail” (ciptaan Imam Maliki). [11]

2. Adat Manjau Pedom

Adat Manjau Pedom adalah Adat bertamu untuk menginap di rumah pihak wanita oleh pihak keluarga pria yang dilakukan setelah prosesi ijab kabul. Hal yang ditekankan dalam Adat Manjau Pedom ini adalah menjalin hubungan silaturahmi antara keluarga pihak mempelai, sehingga terjalin hubungan saudara yang kuat dan saling tolong menolong antar kedua keluarga.

3. Cempala Khua Belas

Dalam peraturan bujang gadis dikenal istilah “Cempala Khua Belas”, dimana hal ini mengatur tentang pergaulan bujang gadis dan barang siapa yang melanggar aturan Adat tersebut maka akan diberi sangsi. Dalam aturan tersebut tersurat akan adanya pengaruh hukum Islam yang mengatur hubungan pria dan wanita yang bukan muhrim, aturan pergaulan hidup bermasyarakat, serta aturan kesopanan dan kesusilaan.

4. Alat Musik dan Kesenian

Pemakaian alat musik dan kesenian yang terpengaruh Budaya Islam adalah Alat musik Rabana, Gitar Tunggal, Gitar Gambus dan Piul (Biola). Alat tersebut digunakan pada saat prosesi adat atau pun pada saat pertunjukan kesenian pada pesta perkawinan. Sehingga kita kenal hingga saat ini kesenian Orkes Gambus Lampung yang telah muncul sejak tahun 1970-an.

5. Ngumbai Lawok

Ngumbai Lawok (Mencuci Laut) adalah ritual tradisi masyarakat Lampung sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada penguasa laut sekaligus ajang silaturahmi antar warga pesisir. Dan masih banyak lagi budaya Lampung yang lainnya. [12]          

III. Kehidupan Masyarakat Pendatang di Lampung

a. Kehidupan masyarakat etnis Jawa di Lampung

            Masyarakat dari etnis Jawa yang berdomisili di Lampung umumnya adalah mereka yang mengikuti program transmigrasi baik pada masa penjajahan belanda maupun pada masa pemerintahan Soeharto. Hingga saat ini masyarakat etnis Jawa terus berkembang, bahkan populasinya amatlah pesat, dimana orang Jawa menjadi mayoritas (61,89%) diikuti dengan orang asli Lampung yang justru menjadi minoritas. Umumnya masyarakat etnis Jawa yang bertempat tinggal di Lampung membentuk suatu kelompok-kelompok tertentu, sekalipun ada juga yang membentuk kelompok dengan penduduk aslinya. Hal ini di dasari dengan adanya anggapan bahwa pembentukan kelompok akan sangat membantu dalam bertahan dari intimindasi penduduk asli, sedangkan mereka yang memilih untuk membaur dengan warga pribumi Lampung umumnya berada di tengah masyarakat Lampung yang lebih damai, lebih berpola fikir modern dan mempunyai toleransi.

            Pembentukan kelompok etnis Jawa di Lampung termuat dalam beberapa wadah seperti organisasi, LSM, perkampungan atau pedesaan dan lain-lain. Salah satu bukti adanya pengelompokan tersebut dapat dilihat dari nama-nama wilayah baik itu desa,kecamatan hingga kabupaten di Provinsi Lampung yang memakai nama dengan unsur dialek / bahasa Jawa seperti, desa Srikuncoro, Srikaton, Sudimoro, Sukorojo, Porwodadi, Kanoman,Sedayu, kecamatan wonosobo, Komunitas PUJAKESUMA (Putera Jawa Kelahiran Sumatera) dan lain-lain. [13]

b. Kehidupan masyarakat etnis Bali di Lampung

            Tak jauh berbeda dengan kehidupan Masyarakat dari etnis Jawa yang berdomisili di Lampung, masyarakat etnis Bali yang tinggal di Lampung pun pada umumnya berada di Lampung karena program transmigrasi. Namun jumlahnya tak sebanyak jumlah masyarakat etnis Jawa. Masyarakat etnis Bali di Lampung juga memiliki penduduk dengan struktur pengelompokan seperti etnis Jawa di Lampung, namun hanya dalam skala kecil seperti desa-desa dengan nuansa, adat dan nama Bali. Masyarakat etnis Bali di Lampung secara garis besar hanya mendiami wilayah Lampung Utara dan Lampung Selatan saja seperti di daerah Kalianda, Panjang, Bandar lampung dan Sekitarnya, selebihnya tersebar di sejumlah wilayah lampung dalam skala yang lebih kecil.

IV. Tradisi / Kebudayaan Masyarakat Pendatang di Lampung

a. Tradisi / kebudayaan masyarakat etnis Jawa di Lampung

            Tradisi masyarakat etnis Jawa di Lampung masih terlihat kental dan mudah dijumpai di perkampungan yang didominasi oleh etnis Jawa. Seperti tatanan bahasa Jawa mulai dari bahasa, Jawa ngoko madya, dan kromo yang senantiasa di pakai dalam kehidupan sehari-hari etnis Jawa di Lampung. Namun terjadi sedikit perubahan bahasa dalam struktur bahasa Jawa aslinya, yaitu efek dari sosialisasi antar suku Jawa yang berbeda dialek, maka secara otomatis bahasa Jawa di Lampung akan disesuaikan dengan lawan bicara dan kondisi lingkungan dimana masyarakat etnis jawa yang paling banyak jumlahnya dalam satu desa akan mendominasi percakapan / bahasa Jawa sehari-hari dengan logat dan dialek mereka. Seperti hadirnya orang-orang etnis Jawa dengan dialek Banyumasan/Tegal di tengah masyarakat etnis Jawa Solo atau yang lainnya, maka secara otomatis akan menghilangkan logat / dialek yang sering disebut “ngapak” dalam bahasa Jawa secara langsung mapun tidak langsung.

            Selain dari segi bahasa, kebudayaan etnis Jawa lainnya yang kental di Lampung adalah bentuk rumah dan cara berpakaian. Bentuk rumah tersebut layaknya rumah adat yang terdapat di pulau Jawa seperti rumah Joglo dan sebagainya. Namun seiring perkembangan zaman, lambat laun masyarakat etnis Jawa di Lampung mulai membangun rumah dengan gaya modern sesuai dengan keinginan mereka. Selebihnya tradisi / kebudayaan etnis Jawa di Lampung masih sama dengan yang berada di pulau Jawa seperti kesenian reog, kuda lumping, wayang kulit, tingkeban (tujuh bulanan bayi), ruwatan, dan sebagainya.

b. Tradisi / kebudayaan etnis Bali di Lampung

            Berbeda dengan etnis Jawa di Lampung, etnis Bali yang juga berdomisili di Lampung lebih kuat dalam mempertahankan adat dan kebudayaan mereka dengan penuh, hal ini terlihat dari bangunan-bangunan tempat tinggal di kampung etnis Bali yang berada di Lampung yang masih sangat kental dan bahkan sama dengan bentuk / gaya bangunan asli di pulau Bali sekalipun mereka membangun rumah baru maka tidak akan keluar dari konsep rumah adat bali yang sangat dominan. Selain itu  terlihat juga dari patung-patung, gapura dan cara berpakaian mereka yang sangat sama persis dengan kebudayaan bali yang berada di pulau Bali.


B. KONFLIK SOSIAL DI LAMPUNG

a. Contoh kasus (konflik antar suku Bali dan Lampung)

            Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, tepatnya tanggal 30 oktober 2012 lalu, tepatnya di wilayah Kalianda (Lampung Selatan). Dalam kasus ini, terdapat isu permasalahan mengenai pelecehan seksual yang diduga sebagai pemicu konflik. Konflik tersebut telah menelan belasan korban jiwa, yang diibaratkan sebagai puncak dari gunung es.

Dilihat dari akar penyebabnya, kasus Lampung dalam batas-batas tertentu dapat dikatakan bersifat klasik. Di dalamnya melibatkan tipe konflik yang bernuansa primordial, yang mengingatkan kita pada konflik yang terjadi di Sampit, Sambas, Kalbar, dan sejumlah daerah pascareformasi. Meski sebagian kalangan melihat konflik antar kampung di Lampung ini tak terkait masalah etnisitas, mengabaikan faktor ini juga kurang tepat. Hal ini mengingat secara kasat mata pihak-pihak yang berkonflik memiliki keterkaitan kuat dengan kedua etnis yang terlibat, yakni etnis Lampung dan Bali.

Sejak kehadirannya, etnis Bali dianggap membawa persoalan tersendiri bagi sebagian masyarakat Lampung. Gugus persoalan ini mencakup ”legitimasi kehadiran” masyarakat Bali yang dipandang masih bermasalah karena menempati wilayah yang belum sepenuhnya diizinkan ataupun karena perbedaan adat kebiasaan dan agama. Kenyataan pula bahwa kedua etnis relatif hidup terpisah dalam nuansa yang eksklusif (enclave). Tidak mengherankan jika kedua etnis itu kerap masih merasa asing satu dan lainnya. Hal ini terjadi terutama di Lampung Selatan dan Lampung Utara.

Bila ditelusuri lebih dalam sebenarnya kasus konflik antar suku di Lampung bukan kali ini saja terjadi, namun sudah sejak dahulu khususnya di daerah daerah pinggiran hingga pelosoknya. Hanya saja lasus konflik antar etnis tersebut tidak pernah dimuat dalam media  masa manapun, karena letaknya yang tak terjangkau dari para pemburu berita maupun karena faktor lain. yang paling sering terjadi adalah konflik antara suku / etnis Jawa dengan suku Lampung asli. [14]


b. Analisa kasus berdasarkan teori

1. Teori konflik Max Weber

            Pandangan Max Weber tentang konflik sangat banyak sekali, namun umumnya lebih menjurus kepada konflik politk, namun jika di telisik lebih dalam terdapat sebuah pendapat Max Weber mengenai konflik sosial. Menurut Max Weber konflik sosial terjadi karena adanya keinginan dalam kedudukan sosial.

2. Teori konflik Clifford Gerrz

            Tak jauh berbeda dengan pandangan Weber, pandangan Clifford Gerrz mengenai konflik pun lebih didominasi oleh konflik politik. Namun Clifford Gerrz juga berpendapat bahwa penyebab konflik sosial adalah karena faktor ikatan primordial yang menjadi perekat kelompok bersangkutan, juga melahirkan sentimen serta kesetiaan kepada primordial.

            Dari kedua pendapat tersebut saja sudah terlihat dengan nyata betapa masalah kedudukan sosial dan ikatan primordial (yang didalamnya termasuk juga etnosentrisme) mempunyai kekuatan yang luar biasa dalam menciptakan konflik yang sangat hebat seperti pada contoh kasus diatas. Meski secara kultural sebenarnya kedua etnis itu memiliki kearifan lokal yang harusnya dapat diandalkan untuk menciptakan kerukunan dan mencegah konflik,, tetapi dalam berbagai kasus konflik terlihat bahwa kearifan lokal itu seolah sirna.

Masyarakat Lampung dengan kearifan lokalnya yang berupa Piil Pesenggiri (Piil), yang di dalamnya terkait soal kehormatan diri yang muncul karena kemampuan mengolah kedewasaan berpikir dan berperilaku. Di sini kemampuan hidup berdampingan dengan berbagai kalangan, termasuk pendatang, merupakan salah satu inti ajaran Piil itu. Begitu juga masyarakat Bali dengan ajaran Bhinneka Tunggal Ika, Tatwam Asi (kamu adalah aku dan aku adalah kamu) dan Salunglung Sabayantaka, yang mengajarkan demikian dalam arti penting hidup berdampingan secara damai. Namun adanya kecemburuan sosial, primordialisme (seperti watak keras dan kebiasaan membawa benda tajam saat bepergian, adanya adu domba (penghasutan) dari pihak-pihak tertentu dan kurangnya pendidikan, serta sikap etnis Bali yang di anggap berlebihan membuat konflik tidak terelakan lagi.



BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan dan Saran         

            Sebagai salah satu bangsa yang kaya sumber daya alam serta yang paling plural di dunia, Indonesia menyimpan banyak potensi yang seharusnya dapat membangun negara untuk keluar dari kemiskinan serta meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Namun adanya faktor yang menghambatnya (diluar faktor korupsi dan ketertinggalan pendidikan) ternyata tanpa disadari ada salah satu faktor penyebab terhambatnya integrasi nasional yakni konflik dalam pluralitas budaya karena adanya faktor internal maupun ekternal seperti konflik yang terjadi di Lampung.

Situasi di Lampung adalah  cerminan bahwa nilai-nilai kearifan lokal makin terpinggirkan. Setidaknya mengalami pergeseran makna. Konsep Piil, misalnya, mengalami penyempitan makna sekadar membela harga diri. Alih-alih dikaitkan keharusan kedewasaan berperilaku, masalah ”kehormatan diri” justru jadi alasan pembenaran untuk menempuh cara apa pun sejauh itu dianggap dapat menjaga harga diri. Sementara respons dari kalangan Bali menunjukkan bahwa nilai-nilai kedamaian dan toleransi yang dianut juga tidak mampu bekerja dengan sempurna.

Dalam kajian kasus konflik di Lampung, persoalan primordial tidaklah berdiri sendirian. Namun persoalan ini berkelindan dengan kenyataan adanya disparitas ekonomi, yang bagi sementara kalangan sudah makin terlihat nyata. Kaum pendatang, terutama Bali, merupakan komunitas yang cukup sejahtera, sementara etnis Lampung tidak cukup baik kondisinya sebagai ”tuan rumah”. Di sini, persoalan klasik kecemburuan sosial antara ”pribumi” dengan ”pendatang” telah cukup membutakan akal sehat dan menjadi rumput kering yang berpotensi membara manakala menemukan pemantiknya.      Untuk itu diperlukan campur tangan pemerintah secara tegas dalam membimbing serta memberi sanksi dalam bentuk pengarahan dan pembinaan  serta kerjasama antar tokoh agama / budaya antar etnis di Lampung untuk senantiasa menanamkan rasa toleransi dan kerjasama yang baik agar tercipta integrasi, atau setidaknya mampu meredamkan konflik budaya yang merusak struktur ideologi bangsa.



DAFTAR PUSTAKA


http://www.setneg.go.id/index.php?Itemid=222&id=2800&option=com_content&task=view

http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/04/08/manusia-dan-kebudayaan-549490.html

www.academia.edu/1493797/Tradisi_pemikiran_hubungan_internasional_modern_dan_alternatif_pascakolonialisme

http://www.masbied.com/search/macam-macam-nilai-pancasila

kartika01061994.mhs.unimus.ac.id/.../pancasila-sebagai-ruh-kebudayaan

www.kemendagri.go.id/pages/profildaerah/kabupaten/id/18/name/lampung/detail/1802/

http://regional.kompasiana.com/2012/10/30/perang-suku-di-lampung-sebuah-dendam-lama-505234.html

http://radarlampung.co.id/read/opini/17864-terminologi-sai-bumi-ruwa-jurai-

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Lampung

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Lampung

http://seandanan.wordpress.com/ada/

http://warisanindonesia.com/2011/11/ngumbai-lawok-mencuci-laut-di-lampung/

http://www.wikimu.com/News/displaynews.aspx?id=6537

http://nasional.kompas.com/read/2012/11/04/08580419/Kompleksitas.Konflik.Lampung


Tidak ada komentar:

Posting Komentar