BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Indonesia merupakan salah satu
bangsa yang paling plural di dunia dengan lebih dari 500 etnik dan menggunakan
lebih dari 250 bahasa.[1]
Karenanya, sebagaimana bangsa multietnik lainnya, persoalan-persoalan mengenai
pengintegrasian berbagai etnik kedalam kerangka persatuan nasional selalu
menjadi tema penting. Ironisnya, setelah sekian puluh tahun kemerdekaan,
pertikaian antar etnik tetap saja terjadi. Sementara pembauran antar etnik
intens berlangsung terutama di daerah-daerah urban, konflik antar etnik terus
terjadi. Di satu sisi di galakkan upaya untuk meningkatkan nasionalisme guna
mengurangi etnosentrisme, namun di sisi lain tumbuh subur pemujaan etnik.
Tak terkecuali di daerah Lampung, sebuah
provinsi di ujung pulau Sumatera yang memiliki keanekaragaman budaya, baik itu
dari penduduk asli maupun dari para pendatang. Sehingga tak heran jika Lampung
seringkali mendapat julukan Indonesia mini. Namun sayangnya warna pluralitas
budaya tersebut harus menjadi semu karena terhambat oleh konflik yang didasari berbagai
faktor, sehingga sangatlah susah untuk mewujudkan integrasi guna mewujudkan
pembangunan yang merata dan bermanfaat dalam skala besar.
B.
Identifikasi Masalah
Untuk
mengetahui mengenai pluralitas budaya dan konflik di Lampung, maka haruslah mengupas
hal-hal yang berkaitan dengan masalah tersebut meliputi:
1.
Kajian pluralitas budaya di Lampung
2.
Faktor penyebab konflik yang menghambat integrasi
C.
Landasan Teori
Landasan
teori yang sesuai untuk dipakai dalam mengkaji masalah pluralitas dan konflik
budaya daerah Lampung diantaranya adalah
pemikiran Max weber (tentang keinginan dalam kedudukan sosial), dan pemikiran Clifford
Gerrz (tentang ikatan primordial).
BAB II
PEMBAHASAN
A. PLURALITAS
BUDAYA DAN BENTUK-BENTUKNYA DI LAMPUNG
Indonesia
kaya akan berbagai macam suku bangsa dan kebudayaan daerah. Namun adanya
kekayaan budaya tersebut sering kali tidak di imbangi dengan sikap toleransi
dan empati oleh tiap-tiap suku bangsa. Hal ini menyebabkan munculnya
kesalahpahaman yang berujung pada terjadinya konflik yang dapat membahayakan
persatuan dan kesatuan bangsa kita. Keberagaman kebudayaan sering disebut
dengan pluralitas budaya, hal ini mengacu pada pendapat E.B.Tylor yaitu
kebudayaan merupakan sesuatu yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni,
kesusilaan, hukun, adat istiadat, kesanggupan, serta kebiasaan lainnya yang
dipelajari oleh manusia sebagai anggota
masyarakat.[2]
Maka, dengan adanya pluralitas budaya dalam suatu negara diperlukan nilai dan
norma budaya untuk mengatur unsur-unsur yang tercakup dalam kebudayaan
tersebut.
Sejumlah ahli antropologi mengatakan
mengenai pentingnya keanekaragaman kebudayaan sacara vertikal dalam masyarakat.
Mereka menekankan mengenai pentingnya keanekaragaman kebudayaan yang dinamakan
pluralism budaya. Menurut konsep ini, peraturan atau perundangan yang dibuat pemerintah harus menghargai
perbedaan budaya yang ada dan merupakan produk sejarah masa lalu serta menjamin
adanya kesamaan derajat di masyarakat. Adanya pluralisme budaya kemudian mendasari
munculnya multikulturalisme.
Menurut Bennet, mutikulturalisme
merupakan ideologi yang mengagungkan persamaan derajat baik perbedaan
individual maupun kebudayaan. Multikulturalisme memiliki tujuan untuk
memperjuangkan kesamaan hak golongan minoritas secara hukum dan social.[3]
Multikulturalis mendorong masyarakat untuk melonggarkan batas suku bangsa yang
dipagari oleh kebudayaan masing-masing. Melalui pendidikan di sekolah, kita
diajarkan memahami kebudayaan lain yang berbeda-beda.
Adanya pemahaman ini, diharapkan membuat prasangka dan stereotip
dapat dihilangkan dan pemahaman kesamaan derajat pun dapat terwujud Pluralitas
budaya sering disamakan dengan istilah multikulturalisme. Dua istilah tersebut
memang memiliki makna yang mirip. Akan tetapi, multikulturalisme merupakan
paham atau ideologi yang menganjurkan masyarakat untuk menerima dan menganggap
keanekaragaman budaya adalah hal yang wajar dalam suatu wilayah. Ada pula
istilah pluralism kebudayaan yang pemahamannya berbeda dengan pluralitas
kebudayaan. Menurut koentjaraningrat, pluralisme kebudayaan adalah dua macam
tradisi kebudayaan atau lebih yang membagi masyarakat ke dalam golongan social
yang berbeda-beda.[4]
Gejala ini dijadikan konsep untuk memahami dan menganalisis proses-proses social
yang terjadi dalam masyarakat berkebudayaan majemuk yang berbeda dengan
masyarakat berkebudayaan tunggal.
Di Lampung sendiri pluralitas
budayanya sangatlah lengkap, yang terdiri dari banyak budaya lokal (Lampung
asli) dan budaya lokal (dalam konteks nasional) yang merupakan pendatang
diwilayah tersebut. Kebudayaan lokal adalah kebudayaan yang dimiliki
masyarakat-masyarakat lokal di dalam Negara Indonesia. Masyarakat lokal atau
sering disebut masyarakat setempat adalah masyarakat yang mendiami suatu wilayah
dengan batas-batas geografis, seperti gunung, laut, sungai, lembah, hutan,
bukit, selat, persawahan, atau batas-batas buatan manusia, seperti tugu, pal,
dan gapura.[5]
Kebudayaan lokal sering disebut sebagai kebudayaan daerah. Setiap daerah
memiliki kebudayaan masing-masing, mulai dari Aceh, Jawa, hingga Papua.
Keberadaan budaya tersebutlah yang membuat Indonesia memiliki ciri khas dan
keunikan tersendiri dibandingkan Negara lain. Keberagaman budaya tersebut
kemudian tercakup dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Kemajemukan masyarakat Indonesia
dapat dilihat dengan adanya kenyataan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari
bermacam suku bangsa dan etnik dengan kebudayaannya masing-masing. Kebudayaan
yang berbeda satu sama lain tersebut secara idealis hidup di bawah naungan negara
Indonesia. Namun untuk mengukur keidealan integrasi suatu bangsa dapat dilihat
dari konflik yang terjadi disuatu daerah baik itu yang terjadi antar budaya
lokal (pribumi) maupun antara budaya lokal (pribumi) dengan budaya lokal (dalam
konteks nasional) yang merupakan pendatang. Seperti yang terjadi di Lampung
yang kerap dijuluki Indonesia mini karena keanekaragaman budaya nasional yang
berada di daerah tersebut.[6]
Sejak zaman kolonialisme, Belanda
mengirim orang dari luar Lampung, lingkungan sosial masyarakat Lampung berada
dalam dinamika pluralisme. Selanjutnya tak henti-henti pula arus perpindahan
secara besar-besaran dari berbagai daerah di Indonesia ke Provinsi Lampung.
Hampir tak terbatas waktu provinsi Lampung menerima warga baru, baik yang
berawal sebagai tamu berangsur menetap, maupun yang secara sengaja berpindah
untuk mencari penghidupan baru. Arus deras perpindahan penduduk etnis dan
budaya dari luar Lampung ke dalam lingkungan kehidupan masyarakat Lampung ini
merupakan pengaruh pencitraan Belanda bahwa pribumi masyarakat Lampung adalah
etnis yang ramah dan terbuka. Tujuan dicitrakannya orang Lampung sebagai etnis
terbuka menerima kehadiran pendatang ini adalah agar kehadiran orang asing
tidak menimbulkan resistensi, baik terkait dengan perbedaan etnis, agama, ras
dan budaya maupun terkait dengan hak ulayat atas tanah adat yang menjadi lokasi
garapan.
Pada sisi lain masyarakat Lampung yang memiliki falsafah hidup fiil
pesenggiri dengan salah satu unsurnya adalah ”Nemui-nyimah” yang
berarti ramah dan terbuka kepada orang lain, maka tidak beralasan untuk
berkeberatan menerima penduduk pendatang.[7]
Pada masa pasca kemerdekaan, citra sebagai masyarakat adat yang
menerima kehadiran orang lain itu cenderung diterima secara terbuka, sehingga
kemudian mengkristal di dalam konsep Sai Bumi Ruwa Jurai (hanya sama
saja yaitu di dalam satu bumi Lampung yang terdapat dua cabang yakni pesisir
dan pepadun, Dalam tafsiran lain disebut dengan penduduk pendatang dan asli).
Harapannya adalah agar kehidupan sosial masyarakat Lampung yang terdiri
penduduk asli dan pendatang ini menjadi sebuah lingkungan sosial dengan
komunitas yang hidup rukun, berdampingan dan bekerjasama. Perbedaan yang ada
dapat dijadikan kekuatan baru dalam membangun kehidupan yang harmonis. Distribusi
kelompok etnis di Lampung meliputi warga Lampung asli, Semendo (Sum-Sel), Bali,
Lombok, Jawa, Minang/Padang, Batak, Sunda, Madura, Bugis, Banten, Palembang,
Aceh, Makassar, warga keturunan, Warga asing (China, Arab) dan lain-lain
Sedangkan masyarakat adat Lampung secara garis besar terbagi
dalam dua kelompok adat, yaitu
masyarakat adat Lampung Sai Batin dan masyarakat adat Lampung Pepadun
sebagaimana terkristalisasi dalam kesatuan adat budaya masyarakat Lampung
seperti yang telah disebutkan diatas yakni ”Sang Bumi Ruwa Jurai”. (hanya
sama saja yaitu di dalam satu bumi Lampung).[8]
Masyarakat adat Sai Batin terdiri dari ragam marga yang
tersebar di berbagai wilayah. Pada mulanya secara umum tersebar di kawasan
pesisir pantai, kemudian pada dekade selanjutnya tersebar juga di daerah
pedalaman dan sektor perkotaan. Demikian juga sebaliknya masyarakat adat
Lampung Pepadun juga kemudian tersebar dan membaur (inkulturasi) dengan
kelompok masyarakat lainnya, baik dalam lingkungan dua kelompok budaya secara
umum, maupun dalam lingkungan jurai marga (teritorial) atau kebuawaian (garis
keturunan) dari masing-masing kelompok budaya tersebut.
a.
Masyarakat beradat Lampung Saibatin
Masyarakat Adat Lampung Saibatin mendiami wilayah adat: Labuhan
Maringgai, Pugung, Jabung, Way Jepara, Kalianda, Raja Basa, Teluk Betung,
Padang Cermin, Cukuh Balak, Way Lima, Talang Padang, Kota Agung, Semaka, Suoh,
Sekincau, Batu Brak, Belalau, Liwa, Pesisir Krui, Ranau, Martapura, Muara Dua,
Kayu Agung, empat kota ini ada di Propinsi Sumatera Selatan, Cikoneng di Pantai
Banten dan bahkan Merpas di Selatan Bengkulu. Masyarakat Adat Saibatin
seringkali juga dinamakan Lampung Pesisir karena sebagian besar
berdomisili di sepanjang pantai timur, selatan dan barat lampung, masing masing
terdiri dari:
-Paksi
Pak Sekala Brak (Lampung Barat)
-Bandar
Enom Semaka (Tanggamus)
-Keratuan
Putih Bandakh Lima Teluk Semaka di Cukuh Balak, Limau, Kelumbayan, Kelumbayan
Barat, Kedondong, Way Lima, Way Khilau, Pardasuka, Pardasuka Selatan, Bulok,
Talang Padang, Gunung Alif, serta sebagian Padang Cermin, Punduh Pedada, Teluk
Betung dan Kalianda (Tanggamus - Pesawaran - Pringsewu - Lampung Selatan)
terdiri dari Bandakh seputih , yaitu Buay Humakhadatu, Buay TambaKukha, Buay
HuluDalung, Buay HuluLutung, Buay Pematu, Buay Akhong dan Buay Pemuka. Bandakh
Sebadak, yaitu Buay Mesindi (Tengklek). Bandakh
Selimau yaitu Buay Tungau, Buay Babok dan Buay Khandau. Bandakh Sepertiwi yaitu Buay Sekha, Buay Samba dan Buay Aji. Bandakh
Sekelumbayan yaitu Buay Balau (Gagili),
Buay Betawang dan Buay Bakhuga.
-Keratuan
Melinting (Lam-Tim) -Keratuan Darah Putih (Lam-Sel)
-Keratuan
Komering (Prov Sum-Sel) -Cikoneng Pak Pekon (Prov Banten) [9]
b.
Masyarakat beradat Pepadun/Pedalaman terdiri dari:
-Abung
Siwo Mego (Unyai, Unyi, Subing, Uban, Anak Tuha, Kunang, Beliyuk, Selagai,
Nyerupa). Masyarakat Abung mendiami tujuh wilayah adat: Kotabumi, Seputih
Timur, Sukadana, Labuhan Maringgai, Jabung, Gunung Sugih, dan Terbanggi.
-Mego
Pak Tulangbawang (Puyang Umpu, Puyang Bulan, Puyang Aji, Puyang Tegamoan).
Masyarakat Tulangbawang mendiami empat wilayah adat: Menggala, Mesuji,
Panaragan, dan Wiralaga.
-Pubian
Telu Suku (Minak Patih Tuha atau Suku Manyarakat, Minak Demang Lanca atau Suku
Tambapupus, Minak Handak Hulu atau Suku Bukujadi). Masyarakat Pubian mendiami
delapan wilayah adat: Tanjungkarang, Balau, Bukujadi, Tegineneng, Seputih
Barat, Padang Ratu, Gedungtataan, dan Pugung.
-Sungkay-WayKanan
Buay Lima (Pemuka, Bahuga, Semenguk, Baradatu, Barasakti, yaitu lima keturunan
Raja Tijang Jungur). Masyarakat Sungkay-WayKanan mendiami sembilan wilayah
adat: Negeri Besar, Ketapang, Pakuan Ratu, Sungkay, Bunga Mayang, Blambangan
Umpu, Baradatu, Bahuga, dan Kasui. [10]
II.
Tradisi / Kebudayaan Masyarakat Lampung Asli
1.
Kebiasaan Ngarak Maju Atau Budaya Ngarak
Ngarak menurut istilah adalah Arak-arakan, sedangkan Maju adalah
Pengantin. Maka “Ngarak Maju” adalah Adat arak-arakan pengantin Lampung yang
dilakukan di tempat pihak pengantin pria, sebagai pertanda bahwa si pria telah
resmi menikahi dengan si wanita (pengantin perempuan). Dalam tradisi ngarak
tersebut unsur yang terpengaruh Budaya Islam adalah penggunaan alat musik
Rabana sebagai alat musik pengiring arak-arakan dan pelantunan Salawat dan
Syair Arab yang dikenal dengan istilah Zikir Lama dan Zikir Baru. Demikian juga
pada saat pengantin telah tiba di rumah pihak pengantin pria (setelah diarak), maka
pihak keluarga si Pria menyambut rombongan Arakan tersebut dengan melantunkan
Syair Arab “Lail” (ciptaan Imam Maliki). [11]
2.
Adat Manjau Pedom
Adat Manjau Pedom adalah Adat bertamu untuk menginap di rumah pihak
wanita oleh pihak keluarga pria yang dilakukan setelah prosesi ijab kabul. Hal
yang ditekankan dalam Adat Manjau Pedom ini adalah menjalin hubungan
silaturahmi antara keluarga pihak mempelai, sehingga terjalin hubungan saudara
yang kuat dan saling tolong menolong antar kedua keluarga.
3.
Cempala Khua Belas
Dalam peraturan bujang gadis dikenal istilah “Cempala Khua Belas”,
dimana hal ini mengatur tentang pergaulan bujang gadis dan barang siapa yang
melanggar aturan Adat tersebut maka akan diberi sangsi. Dalam aturan tersebut
tersurat akan adanya pengaruh hukum Islam yang mengatur hubungan pria dan
wanita yang bukan muhrim, aturan pergaulan hidup bermasyarakat, serta aturan
kesopanan dan kesusilaan.
4.
Alat Musik dan Kesenian
Pemakaian alat musik dan kesenian yang terpengaruh Budaya Islam
adalah Alat musik Rabana, Gitar Tunggal, Gitar Gambus dan Piul (Biola). Alat
tersebut digunakan pada saat prosesi adat atau pun pada saat pertunjukan
kesenian pada pesta perkawinan. Sehingga kita kenal hingga saat ini kesenian
Orkes Gambus Lampung yang telah muncul sejak tahun 1970-an.
5.
Ngumbai Lawok
Ngumbai Lawok (Mencuci Laut) adalah ritual tradisi masyarakat
Lampung sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada penguasa laut sekaligus ajang
silaturahmi antar warga pesisir. Dan masih banyak lagi budaya Lampung yang
lainnya. [12]
III. Kehidupan
Masyarakat Pendatang di Lampung
a. Kehidupan
masyarakat etnis Jawa di Lampung
Masyarakat dari etnis Jawa yang
berdomisili di Lampung umumnya adalah mereka yang mengikuti program
transmigrasi baik pada masa penjajahan belanda maupun pada masa pemerintahan
Soeharto. Hingga saat ini masyarakat etnis Jawa terus berkembang, bahkan
populasinya amatlah pesat, dimana orang Jawa menjadi mayoritas (61,89%) diikuti
dengan orang asli Lampung yang justru menjadi minoritas. Umumnya masyarakat
etnis Jawa yang bertempat tinggal di Lampung membentuk suatu kelompok-kelompok
tertentu, sekalipun ada juga yang membentuk kelompok dengan penduduk aslinya.
Hal ini di dasari dengan adanya anggapan bahwa pembentukan kelompok akan sangat
membantu dalam bertahan dari intimindasi penduduk asli, sedangkan mereka yang
memilih untuk membaur dengan warga pribumi Lampung umumnya berada di tengah
masyarakat Lampung yang lebih damai, lebih berpola fikir modern dan mempunyai
toleransi.
Pembentukan kelompok etnis Jawa di
Lampung termuat dalam beberapa wadah seperti organisasi, LSM, perkampungan atau
pedesaan dan lain-lain. Salah satu bukti adanya pengelompokan tersebut dapat
dilihat dari nama-nama wilayah baik itu desa,kecamatan hingga kabupaten di
Provinsi Lampung yang memakai nama dengan unsur dialek / bahasa Jawa seperti,
desa Srikuncoro, Srikaton, Sudimoro, Sukorojo, Porwodadi, Kanoman,Sedayu,
kecamatan wonosobo, Komunitas PUJAKESUMA (Putera Jawa Kelahiran Sumatera) dan
lain-lain. [13]
b.
Kehidupan masyarakat etnis Bali di Lampung
Tak jauh berbeda dengan kehidupan
Masyarakat dari etnis Jawa yang berdomisili di Lampung, masyarakat etnis Bali
yang tinggal di Lampung pun pada umumnya berada di Lampung karena program
transmigrasi. Namun jumlahnya tak sebanyak jumlah masyarakat etnis Jawa.
Masyarakat etnis Bali di Lampung juga memiliki penduduk dengan struktur pengelompokan
seperti etnis Jawa di Lampung, namun hanya dalam skala kecil seperti desa-desa
dengan nuansa, adat dan nama Bali. Masyarakat etnis Bali di Lampung secara
garis besar hanya mendiami wilayah Lampung Utara dan Lampung Selatan saja
seperti di daerah Kalianda, Panjang, Bandar lampung dan Sekitarnya, selebihnya
tersebar di sejumlah wilayah lampung dalam skala yang lebih kecil.
IV. Tradisi
/ Kebudayaan Masyarakat Pendatang di Lampung
a.
Tradisi / kebudayaan masyarakat etnis Jawa di Lampung
Tradisi
masyarakat etnis Jawa di Lampung masih terlihat kental dan mudah dijumpai di
perkampungan yang didominasi oleh etnis Jawa. Seperti tatanan bahasa Jawa mulai
dari bahasa, Jawa ngoko madya, dan kromo yang senantiasa di pakai dalam
kehidupan sehari-hari etnis Jawa di Lampung. Namun terjadi sedikit perubahan
bahasa dalam struktur bahasa Jawa aslinya, yaitu efek dari sosialisasi antar
suku Jawa yang berbeda dialek, maka secara otomatis bahasa Jawa di Lampung akan
disesuaikan dengan lawan bicara dan kondisi lingkungan dimana masyarakat etnis
jawa yang paling banyak jumlahnya dalam satu desa akan mendominasi percakapan /
bahasa Jawa sehari-hari dengan logat dan dialek mereka. Seperti hadirnya
orang-orang etnis Jawa dengan dialek Banyumasan/Tegal di tengah masyarakat etnis
Jawa Solo atau yang lainnya, maka secara otomatis akan menghilangkan logat /
dialek yang sering disebut “ngapak” dalam bahasa Jawa secara langsung mapun
tidak langsung.
Selain dari segi bahasa, kebudayaan
etnis Jawa lainnya yang kental di Lampung adalah bentuk rumah dan cara
berpakaian. Bentuk rumah tersebut layaknya rumah adat yang terdapat di pulau
Jawa seperti rumah Joglo dan sebagainya. Namun seiring perkembangan zaman,
lambat laun masyarakat etnis Jawa di Lampung mulai membangun rumah dengan gaya
modern sesuai dengan keinginan mereka. Selebihnya tradisi / kebudayaan etnis
Jawa di Lampung masih sama dengan yang berada di pulau Jawa seperti kesenian
reog, kuda lumping, wayang kulit, tingkeban (tujuh bulanan bayi), ruwatan, dan
sebagainya.
b.
Tradisi / kebudayaan etnis Bali di Lampung
Berbeda dengan etnis Jawa di
Lampung, etnis Bali yang juga berdomisili di Lampung lebih kuat dalam mempertahankan
adat dan kebudayaan mereka dengan penuh, hal ini terlihat dari bangunan-bangunan
tempat tinggal di kampung etnis Bali yang berada di Lampung yang masih sangat
kental dan bahkan sama dengan bentuk / gaya bangunan asli di pulau Bali
sekalipun mereka membangun rumah baru maka tidak akan keluar dari konsep rumah
adat bali yang sangat dominan. Selain itu
terlihat juga dari patung-patung, gapura dan cara berpakaian mereka yang
sangat sama persis dengan kebudayaan bali yang berada di pulau Bali.
B.
KONFLIK SOSIAL DI LAMPUNG
a.
Contoh kasus (konflik antar suku Bali dan Lampung)
Seperti
yang terjadi beberapa waktu lalu, tepatnya tanggal 30 oktober 2012 lalu,
tepatnya di wilayah Kalianda (Lampung Selatan). Dalam kasus ini, terdapat isu
permasalahan mengenai pelecehan seksual yang diduga sebagai pemicu konflik.
Konflik tersebut telah menelan belasan korban jiwa, yang diibaratkan sebagai
puncak dari gunung es.
Dilihat dari akar penyebabnya, kasus Lampung dalam batas-batas
tertentu dapat dikatakan bersifat klasik. Di dalamnya melibatkan tipe konflik
yang bernuansa primordial, yang mengingatkan kita pada konflik yang terjadi di
Sampit, Sambas, Kalbar, dan sejumlah daerah pascareformasi. Meski sebagian
kalangan melihat konflik antar kampung di Lampung ini tak terkait masalah
etnisitas, mengabaikan faktor ini juga kurang tepat. Hal ini mengingat secara
kasat mata pihak-pihak yang berkonflik memiliki keterkaitan kuat dengan kedua
etnis yang terlibat, yakni etnis Lampung dan Bali.
Sejak kehadirannya, etnis Bali dianggap membawa persoalan
tersendiri bagi sebagian masyarakat Lampung. Gugus persoalan ini mencakup
”legitimasi kehadiran” masyarakat Bali yang dipandang masih bermasalah karena
menempati wilayah yang belum sepenuhnya diizinkan ataupun karena perbedaan adat
kebiasaan dan agama. Kenyataan pula bahwa kedua etnis relatif hidup terpisah
dalam nuansa yang eksklusif (enclave). Tidak mengherankan jika kedua etnis itu
kerap masih merasa asing satu dan lainnya. Hal ini terjadi terutama di Lampung
Selatan dan Lampung Utara.
Bila ditelusuri lebih dalam sebenarnya kasus konflik antar suku di
Lampung bukan kali ini saja terjadi, namun sudah sejak dahulu khususnya di
daerah daerah pinggiran hingga pelosoknya. Hanya saja lasus konflik antar etnis
tersebut tidak pernah dimuat dalam media
masa manapun, karena letaknya yang tak terjangkau dari para pemburu
berita maupun karena faktor lain. yang paling sering terjadi adalah konflik
antara suku / etnis Jawa dengan suku Lampung asli. [14]
b.
Analisa kasus berdasarkan teori
1.
Teori konflik Max Weber
Pandangan Max Weber tentang konflik
sangat banyak sekali, namun umumnya lebih menjurus kepada konflik politk, namun
jika di telisik lebih dalam terdapat sebuah pendapat Max Weber mengenai konflik
sosial. Menurut Max Weber konflik sosial terjadi karena adanya keinginan dalam
kedudukan sosial.
2.
Teori konflik Clifford Gerrz
Tak jauh berbeda dengan pandangan
Weber, pandangan Clifford Gerrz mengenai konflik pun lebih didominasi oleh
konflik politik. Namun Clifford Gerrz juga berpendapat bahwa penyebab konflik
sosial adalah karena faktor ikatan primordial yang menjadi perekat kelompok
bersangkutan, juga melahirkan sentimen serta kesetiaan kepada primordial.
Dari kedua pendapat tersebut saja
sudah terlihat dengan nyata betapa masalah kedudukan sosial dan ikatan
primordial (yang didalamnya termasuk juga etnosentrisme) mempunyai kekuatan
yang luar biasa dalam menciptakan konflik yang sangat hebat seperti pada contoh
kasus diatas. Meski secara kultural sebenarnya kedua etnis itu memiliki
kearifan lokal yang harusnya dapat diandalkan untuk menciptakan kerukunan dan
mencegah konflik,, tetapi dalam berbagai kasus konflik terlihat bahwa kearifan
lokal itu seolah sirna.
Masyarakat Lampung dengan kearifan lokalnya yang berupa Piil
Pesenggiri (Piil), yang di dalamnya terkait soal kehormatan diri yang
muncul karena kemampuan mengolah kedewasaan berpikir dan berperilaku. Di sini
kemampuan hidup berdampingan dengan berbagai kalangan, termasuk pendatang,
merupakan salah satu inti ajaran Piil itu. Begitu juga masyarakat Bali dengan
ajaran Bhinneka Tunggal Ika, Tatwam Asi (kamu adalah aku dan aku adalah
kamu) dan Salunglung Sabayantaka, yang mengajarkan demikian dalam arti
penting hidup berdampingan secara damai. Namun adanya kecemburuan sosial,
primordialisme (seperti watak keras dan kebiasaan membawa benda tajam saat
bepergian, adanya adu domba (penghasutan) dari pihak-pihak tertentu dan
kurangnya pendidikan, serta sikap etnis Bali yang di anggap berlebihan membuat
konflik tidak terelakan lagi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan dan Saran
Sebagai salah satu bangsa yang kaya
sumber daya alam serta yang paling plural di dunia, Indonesia menyimpan banyak
potensi yang seharusnya dapat membangun negara untuk keluar dari kemiskinan serta
meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Namun adanya faktor yang menghambatnya
(diluar faktor korupsi dan ketertinggalan pendidikan) ternyata tanpa disadari
ada salah satu faktor penyebab terhambatnya integrasi nasional yakni konflik
dalam pluralitas budaya karena adanya faktor internal maupun ekternal seperti
konflik yang terjadi di Lampung.
Situasi di Lampung adalah cerminan bahwa nilai-nilai kearifan lokal
makin terpinggirkan. Setidaknya mengalami pergeseran makna. Konsep Piil,
misalnya, mengalami penyempitan makna sekadar membela harga diri. Alih-alih
dikaitkan keharusan kedewasaan berperilaku, masalah ”kehormatan diri” justru
jadi alasan pembenaran untuk menempuh cara apa pun sejauh itu dianggap dapat
menjaga harga diri. Sementara respons dari kalangan Bali menunjukkan bahwa
nilai-nilai kedamaian dan toleransi yang dianut juga tidak mampu bekerja dengan
sempurna.
Dalam kajian kasus konflik di Lampung, persoalan primordial tidaklah
berdiri sendirian. Namun persoalan ini berkelindan dengan kenyataan adanya
disparitas ekonomi, yang bagi sementara kalangan sudah makin terlihat nyata.
Kaum pendatang, terutama Bali, merupakan komunitas yang cukup sejahtera,
sementara etnis Lampung tidak cukup baik kondisinya sebagai ”tuan rumah”. Di sini,
persoalan klasik kecemburuan sosial antara ”pribumi” dengan ”pendatang” telah
cukup membutakan akal sehat dan menjadi rumput kering yang berpotensi membara
manakala menemukan pemantiknya. Untuk
itu diperlukan campur tangan pemerintah secara tegas dalam membimbing serta
memberi sanksi dalam bentuk pengarahan dan pembinaan serta kerjasama antar tokoh agama / budaya
antar etnis di Lampung untuk senantiasa menanamkan rasa toleransi dan kerjasama
yang baik agar tercipta integrasi, atau setidaknya mampu meredamkan konflik
budaya yang merusak struktur ideologi bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/04/08/manusia-dan-kebudayaan-549490.html
www.academia.edu/1493797/Tradisi_pemikiran_hubungan_internasional_modern_dan_alternatif_pascakolonialisme
http://www.masbied.com/search/macam-macam-nilai-pancasila
kartika01061994.mhs.unimus.ac.id/.../pancasila-sebagai-ruh-kebudayaan
www.kemendagri.go.id/pages/profildaerah/kabupaten/id/18/name/lampung/detail/1802/
http://regional.kompasiana.com/2012/10/30/perang-suku-di-lampung-sebuah-dendam-lama-505234.html
http://radarlampung.co.id/read/opini/17864-terminologi-sai-bumi-ruwa-jurai-
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Lampung
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Lampung
http://seandanan.wordpress.com/ada/
http://warisanindonesia.com/2011/11/ngumbai-lawok-mencuci-laut-di-lampung/
http://www.wikimu.com/News/displaynews.aspx?id=6537
http://nasional.kompas.com/read/2012/11/04/08580419/Kompleksitas.Konflik.Lampung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar